PENDIDIKAN
TINGGI DAN PENGANGGURAN TERBUKA: Sebuah Dilema
A. Abstrack
Sistem nasional
pendidikan saat ini mengaku tidak cocok dengan bidang pekerjaan. Fenomena ini
merupakan refleksi dari tingkat pengangguran yang tinggi lulus dari tingkat
sekunder dan tersier pendidikan. Masalah ini pengangguran tampaknya menjadi
perdebatan terus menerus sejak lulusan ingin menjadi pegawai pemerintah atau
buruh dan anggota staf perusahaan, tanpa bersedia menjadi pengusaha. Sebuah
survei pada 2009 tenaga kerja nasional menunjukkan bahwa 64% dan 74% dari
alumni sekolah sekunder dan tersier, masing-masing, bekerja di kantor
pemerintah perusahaan swasta. ini menunjukkan bahwa alumni cenderung menganggur
hanya karena mereka menunggu kesempatan untuk menjadi petugas dan buruh, dan
enggan untuk menjalankan bisnis mereka sendiri.
B. Pendahuluan
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah.
Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan
di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada
level 14 dari 14 negara berkembang.Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para
guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan
kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki
siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah
dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya
memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak
kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan
yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu
harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa
diarahkan.Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa,
kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan
semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa
memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan
tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat
di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para
lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan
kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan.
Berdasarkan analisa dari badan pendidikan
dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari
14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri
agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu.
Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42
negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada
diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak
serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.Di
makalah ini juga saya akan membahas Pengangguran yang salah satu masalah pokok
dalam ekonomi di indonesia sekarang. Jumlah pengangguran di indonesia
berdasarkan jenjang perguruan tinggi(PT) cukup mengkhawatirkan, tahun 2005
mencapai 385.538 orang, 2006 menjadi 375.601 orang, tahun 2007 menjadi 408.890
orang tahun 2008 mencapai 704.206 orang dan terakhir tahun 2009 menunjukkan ke
angka 1,14 juta orang! Di perkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Sinyal
tentang abadinya masalah pengangguran tidak terbantah lagi, namun ironisnya
bila pengangguran banyak berasal dari kalangan sarjana. Apalagi mengingat
laporan United Nations Development Programme (UNDP) yang melihat pola
penggangguran di negara-negara berkembang,termasuk Indonesia, sebagai fenomena
unik dimana tingkat penggangguran lebih banyak ditemukan dikalangan mereka yang
megenyam pendidikan tinggi.
C. Landasan Teori
Sebelum kita
membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan
di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan
itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik),
yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak
dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam
Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan
kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita
didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi
dan analisis pengertian pendidikan di atas,
secara singkat pendidikan dapat dirumuskan
sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan
jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti.
Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran
martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar
tercapai suatu hasil pendidikan yang baik.
Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting,
maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia
sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada”
sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya
perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu
sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak
bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi
perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan
itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut
aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya
di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan
sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya
mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari
kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan
kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya. Di Negara-negara
berkembang seperti Indonesia, dalam pembangunan ekonomi di Negara seperti ini
pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih
rumit dan lebih serius daripada masalah perubahan dalam distribusi pendapatan
yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan terendah. Keadaan di
Negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukan bahwa
pembangunan ekonomi yang telah tercipta tidak sanggup mengadakan kesempatan
kerja yang lebih cepat daripada pertambahan penduduk yang berlaku. Oleh
karenanya, masalah pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin
bertambah serius. Lebih malang lagi, di beberapa Negara miskin bukan saja
jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari
keseluruhan tenaga kerja telah menjadi bertambah tinggi. Kebanyakan investor
asing tidak mau menanamkan modalnya di Indonesia karena biaya ekonominya sangat
tinggi akibat masih kuatnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
D. Pembahasan
1.
WAJAH DUKA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA
Abad 21 ini,
dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Banyaknya alumni
PT yang memiliki nilai bagus dan gelar, namun ketika kembali ke masyarakat
bingung apa yang harus diperbuat. Kondisi real masyarakat yang jatuh berbeda
dengan kehidupan dikampus membuat PT harus mampu menjadikan lulusannya mampu
bersaing dan mampu menawarkan mutu serta pelayanan yang bagus. Untuk
mengantisipasi tuntutan perkrmbangan, PT harus mampu melayani berbagai
kebutuhan masyarakat secara kompetitif. Nilai kompetitif PT sesungguhnya
terletak pada kemampuannya melayani masyarakat dengan kualifikasi kemampuan dan
profesionalisme yang tinggi. Karenanya institusi PT harus membuat visi,misi dan
tradisi yang berorientasi efisiensi dan profesionalisme guna membangun dan
menghasilkan lulusan yang kompetitif.
Bagaimanapun
juga tantangan masa depan, khususnya era globalisasi, adalah perubahan
masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Salah satu ciri
masyarakat industri adalah terbuka,kritis,dinamis mampu bersaing, dan cerdas.
Tanpa semua itu tidak mampu dia mengadakan releksi,menganalisis data,berfikir
logis sistematis dan dapat memgantisipasi kehidupan masa depan yang cepat
berubah. Untuk itu, PT harus mengantisipasi kecenderungan ini dalam
perkembangan dan perubahan zaman.
Disamping itu
tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah persaingan dunai kerja. Dengan
banyaknya PT yang menghasilkan lulusan siap kerja secara besar-besaran yang
diikuti meledaknya tenaga kerja produktif, maka persaingan semakin tajam.
Padahal daya tampung lapangan kerja di Indonesia sangat terbatas. Akibatnya
banyak pengangguran terdidik sampai pada tingkat titik jenuh, kemudian
diperparah kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini, maka
lapangan kerja semakin sempit. Fakta cenderung menunjukkan bahwa sistem
pendidikan Indonesia (perguruan tinggi/PT) lebih produktif mencetak lulusan
ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Contoh banyak PT Negeri(PTN) membuka
jalur ekstensi dan D3, meski kenyataannya kampus tersebut tak memiliki sarana
pendidikan dan dosen yang sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Sedangkan PT
Swasta (PTS) harus menghemat pengeluaran masuk dana pendidikan karena takut
mahasiswa terbebani uang kuliah terlalu tinggi. Tindakan ini mengakibatkan PT
lebih berfungsi sebagai mesin penghasil ijazah ketimbang manusia yang memiliki
kematangan ilmu dan kemandirian. Preseden ini diperkuat oleh kenyataan
bahwasanya banyak alumni PT harus menunggu minimal satu tahun(bahkan
bertahun-tahun) untuk memperoleh satu perkerjaan. Tidak jarang gaji yang
diperoleh tidak sebanding dengan investasi pendidikan yang dikeluarkan, dan
pekerjaan yang diperoleh tak sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki. Jenjang pendidikan tinggi sebagai
jaminan memperoleh pekerjaan yang baik ternyata menjadi doktrin bagi kebanyakan
masyarakat kita. Pandangan ini dalam banyak hal turut memperparah banyaknya
lulusan PT yang jobless. Realitanya masih dapat disaksikan dewasa ini bahwa
para sarjana masih terus disibukkan persoalan mencari ketja,sementara
ketersediaan lapangan kerja makin sempit. Alhasil, tidak dapat lagi dipungkiri
bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada menghasilkan
lulusan walaupun tingkat kemandirian dan semangat kewirausahaannya rendah.
Presentase yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bahkan
mempekerjakan orang lain masih sedikit. Padahal jika ditinjau dari logical
perspektif,menjadi seorang sarjana seharusnya punya kemampuan lebih
dibandingkan yang bukan sarjana. Seorang sarjana harus mampu berfikir
konstruktif,kreatif,dan inovatif. Sarjana harus menjadi pelopor, tidak hanya
mampu menunggu kesempatan. Namun, faktanya tidak semua sarjana mempunyai
pemikiran seperti ini. Padahal, peradaban sebuah bangsa yang maju sangat
ditentukan oleh kemajuan pendidikannya. Namun, perlu juga jadi perhatian bahwa
dilema penyelenggaraan pendidikan di PT, yaitu antara memenuhi permintaan pasar
atau bertahan dalam proses pendidikan yang ideal. Maka, orientasinya
menghasilkan keuntungan,jumlah mahasiswa harus banyak. Mereka berbuat demikian
karena dituntut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan opersionalnya. Sehingga
munculla image bahwa pendidikan tinggi adalah pabrik pendidikan. Disebut
pabrik, karena telah sepenuhnya menjadi lahan bisnis,hampir tidak mempunyai
kaitan dengan komitmen sosial,dengan idealisme mencerdaskan bangsa. Fenomena
itu makin menambah persoalan PT kita yang bukannya mengatasi masalah
pengangguran tapi malah menambahnya.
Kegagalan PT menjawab persoalan pengangguran memberi bukti nyata tentang itu.
Persoalannya, mulai dari mana membenahi pendidikan nasional kita? Kiranya perlu
penafsiran tajam dalam hal ini,bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang
demikian kompleks maka mesti dimulai dari yang paling besar (prioritas). Dalam
dunia pendidikan,masalah terbesar yang mesti jadi prioritas penyelesaian adalah
kualitas dan mutu. Artinya, kualitas sistem dan metode
pendidikan,dosen,kesejahteraan tenaga pendidik,metode mengajar,dan
infrastrukturnya. Dalam banyak hal patut dicermati,peningkatan kualitas
pendidikan adalah titik penentu yang mempertinggi kesempatan orang terdidik
memperoleh pekerjaan.
2.
DILEMA KUALITAS LULUSAN PERGURUAN TINGGI
Tingginya angka
pengangguran lulusan PT disebabkan berbagai faktor, antara lain,kompetensi
keahlian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja,lulusan program studi
sudah jenuh dimasyarakat, atau tidak memiliki keahlian apapun untuk bersaing di
dunai kerja? Fenomena ini didukung hasil penelitian Ditjen Dikti yang
menunjukkan bahwa, mereka yang tidak dapat bersaing di dunai kerja umumnya
lulusan program studi ilmu sosial. Dengan demikain, tentu kualitas PT dalam
melahirkan sarjana/diploma akan terus dipertanyakan. Lulusannya dianggap tidak
mampu menjawab kebutuhan pasar, pertanyaannya adalah bagaimana mengatasi
kesenjangan ini? Fakta mengenai lonjokan pengangguran terdidik saat ini makin
memprihatinkan, bila tidak mau disebut menyedihkan. PT sering menempuh jalan
pintas dengan membuka program studi yang sedang “laris” hanya dengan tujuan
untuk tetap bertahan hidup, sementara sarana prasarana pendukung program studi
tersebut masih minim dimiliki. Muaranya, lulusan yang dihasilkan pun tidak
memiliki kompetensi yang memadai untuk bertarung didunia kerja. Salah satu
sebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah, karena PT diaggap
sebagai bisnis yang menghasilkan keuntungan besar. Banyak dosen tidak memenuhi
syarat mengajar dan PT kurang melaksanakan tugasnya sebagai research center and development. Tak
mengherankan bila kurikulumnya kurang sesuai dengan perkembangan dunia usaha.
Melihat fakta ini, semestinya lembaga-lembaga pendidikan punya tanggung jawab
moral terhadap lulusannya. Dunia pendidikan jangan sampai jadi “pabrik” tenaga
pengangguran terdidik. Jalannya tentu saja membangun mentalitas entrepreneur
dan life skill,sehingga tamatan PT
bukan sekadar mencari pekerjaan, melainkan menciptakan lapangan pekerjaan.
3.
PENDIDIKAN TINGGI DAN TUNTUTAN PROFESIONALISME
Profesionalisme
pada prinsipnya merupakan pembedahan ulang atas satu benih diskusi yang telah
ada selama manusia tumbuh dan berkembang dalam kesadaran terhadap berbagai
realitas yang ada di luar dirinya. Jadi, benih profesionalisme sebenarnya sudah
ada sejak manusia dilahirkan sebagai pribadi unik, mempunyai bakat dan
kemampuan berbeda dari orang lain. Sejak itu, seorang manusia disiapkan menjadi
tenaga profesional yang sesuai dan cocok dengan bakat dan kemampuannya. Benih
profesionalisme tumbuh menjadi besar dan kokh saat ilmu-ilmu mendeklarasikan
kemandiriannya dari ikatan mater
scientarium. Ilmu-ilmu menjadi semakin terspesialisai dan menuntut untuk
dikuasai dengan kemampuan khusus. Ia membangun batas-batas dalam hal metode
kerja dan tidak boleh dilanggar kedaulatannya bahkan tidak boleh
dicampuradukkan dengan metode dan cara kerja ilmu lain. Karena itu, seorang
manusia jarang, bahkan tidak akan mungkin,mengusai dan mendalami semua ilmu
yang ada. Ia hanya dapat dan mampu menjadi ahli dibidang ilmu tertentu.
Dalam dunia
modern, benih profesionalisme sangat kuat dan sudah masuk ke wilayah seluruh
lapisan masyarakat. Setiap manusia sadar bahwa dirinya menjadi profesional
hanya dalam bidang tertentu. Profesionalisme merupakan kesadaran diri seorang
manusia sebagai makhluk terbatas dan menjadi sahabt manusia modern. Tuntutan
profesionalisme juga mempengaruhi atmosfer pendidikan didalamnya. Dunia
pendidikan terdorong untuk mampu menghasilkan ahli-ahli yang profesional dalam
bidang tertentu. Sistem pendidikan yang menekankan spesialisasi tertentu
menalurkan banyak ahli profesional. Ia melahirkan orang yang mempunyai
kompetensi besar dalam bidang ilmu tertentu sehingga masing-masing bidang
garapan dalam masyarakat mengalami kemajuan. Ia memacu usaha manusia untuk menjadi
semakin sejahtera, suatu kejuatan yang sangat menggembirakan. Mesikpun
demikian, suatu sistem yang menuntut profesionalisme dapat mengakibatkan
perpecahan dalam masyarakat. Sistem ini mengkondisikan orang untuk hanya tahu
tentang bidang yang digelutinya. Ia dapat menjadi pribadi yang begitu peduli
tethadap bidang ilmunya, tetapi sangat tidak peduli terhadap bidang di luar
dirinya. Ia hanya berkutat dengan profesinya dan tidak berpikir tentang hal-hal
lain yang lebih matang dan manusiawi. Akibatnya, individu kehilangan kemampuan
dialog dan komunikasinya. Apabila sistem pendidikan modern telah sampai pada
taraf menciptakan keterpecahan masyarakat, maka sistem itu telah melangkahi
hakikatnya. Pendidikan yang baik membuahkan kebijaksanaan. Pendidikan harus menjadi
rahim bagi kelahiran profesional yang peduli terhadap masalah masyarakat. Suatu
sistem yang menghasilkan ahli yang hidup bersama,merasakan persoalan, dan
peduli terhadap kepedihan masyarakat. Profesionalisme bagi PT adalah sebuah
keniscayaan. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, PT dituntut untuk
makin kompetitif dalam melayani kebutuahn masyarakat. Karena nilai kompetitif
PT sesungguhnya terletak pada kemampuannya dalam melayani masyarakat dengan
kualifikasi kemampuan dan profesionalisme tinggi. Untuk menghasilkan lulusan
yang profesional, PT harus menggunakan pola strategi yang lebih terbuka dan
fleksibel. Artinya, pola yang dikembangkan tidak terikat secara kaku
sebagaimana yang digariskan, tetapi lebih realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat
sekitar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mampu berkompetisi adalah
dengan peningkatan mutu pendidikan tinggi. Hal tersebut bisa dilakukan melalui
penerapan sistem manajemen mutu, dan yang paling sederhana adalah memenuhi
Badan Akreditasi Nasional (BAN). Sebenarnya ini sja tidak cukup,masih
diperlukan suatu komisi PT yang bertugas mengaudit dan melakukan evaluasi terus
menerus terhadap institusinya sendiri. Mekanisme manajemen mutu ini biasanya meliputi ‘self evaluation;’peer review by panels of experts’, yang biasanya
mengikut-sertakan anggota dari ‘luar’ institusi itu; menggunakan informasi
statistikal yang relevan dan indikator-indikator kinerja; serta survey terhadap
kelompok-kelompok kunci dalam civitas akademika.
Dengan demikian
sistem pendidikan tinggi itu memadai apabila, pertama, mampu melahirkan para profesional yang cakap
intelektual,emosional dan sosial; tidak gagap dengan spesialisasi pilihannya. Kedua, mampu menyediakan peluang bagi
diajarkannya bidang pengetahuan umum. Ketiga,
mampu membuka peluang kehadiran kelompok diskusi yang dapat menampung peserta
didik dari jurusan apa saja untuk membahas masalah apa saja. Kesempatan seperti
ini membantu proses partus-nya para profesional serta menghidupkan kemampuan
dialog dan komunikasi dalam masyarakat. Masyarakat dalam memadukan,mengarahkan
dan memberi makna pada kemajuan yang dialaminya. Intinya masyarakat tidak
kehilangan visi hidupnya yang holistik.
4.
DILEMA PENGANGGURAN
Dilema
penganggur terdidik “mundur kena, maju
kena” menggambarkan kondisi para lulusan PT saat ini. Sekian waktu bergumul
di kampus ternyata tak mampu mengangkat harkat penyandang status sarjana.
Bagaimana tidak menjadi dilema, penganggur kalangan terdidik di tahun 2007 saja
naik mencapai 740.206 orang. Polemik penganggur terdidik terjadi akibat tidak
sejalannya kebutuhan industri terhadap SDM dengan kemampuan individu seorang
sarjana. Dunia kerja mengajukan persyaratan bagi lulusan PT yang memiliki
kemampuan individu dan kerja tim, kemampuan berbahasa inggris, kemampuan
komunikasi, dan pengalaman kerja. Hal ini tidak didapat dari kuliah formal
dengan materi terbatas,sebaliknya kebanyakan mahasiswa memperolehnya karena
inisiatif sendiri. Padahal, tak sejalan dengan kebutuhan tersebut justru
diterapkan kebijakan kurikulum yang sngat padat dan waktu kelulusan yang
dipersingkat. Maksudnya ini akan menjadi pencitraan dari visi sebuah organisasi
pergerakan mahasiswa dengan kegiatan yang juga mendukung keilmuannya. Misalnya
saja organisasi yang memiliki kebiasaan diskusi sosial atau komunitas bahasa
inggris. Kegiatan ini selain dapat dilaksanakan setelah kegiatan kuliah pun
dapat meningkatkan soft skill.
Tentunya tanpa harus menghapuskan sisi idealisme mahasiswa dari benak, sehingga
dapat memenuhi dan merawat keduanya, antara idealisme dan tuntutan hidup. Dalam
hal ini, universitas harus memberi kesempatan dan fasilitas kepada mahasiswa
untuk mengembangkan kemampuan lunak, karena tentu universitas dibayar mahal
bukan tanpa jaminan kepada lulusannya. Dengan memilih jalur mandiri itu
mahasiswa malah akan lebih mampu membuka peluang lapangan kerja baru dengan
memperkerjakan karyawan. Ketersediaan lapanagn kerja pun tidak sesuai dengan
keinginan mahasiswa. Lulusan banyak yang menginginkan kerja layak di kantoran,
sehingga berkas lamaran justru banyak bertumpuk di sektor ini, dengan begitu
banyak saingan. Usaha tersebut setidaknya dapat meminimalisir jumlah
pengangguran yang ada.
Sepanjang tahun
2009, kondisi ketenagakerjaan masih belum mengalami perbaikan yang berarti.
Angka pengangguran terbuka tahun 2009 diperkirakan akan semakin meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih
relatif kecil dan cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan
ekonomi tahun 2009 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan kerja
sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka diperkirakan
akan meningkat menjadi 1,51 juta orang. Oleh
karena itu perlu kiranya pemerintah melakukan upaya-upaya cermat guan
mengurangi pengangguran terbuka.
Dengan
banyaknya PT yang menghasilkan lulusan siap kerja secara besar-besaran yang di
ikuti meledaknya tenaga kerja produktif, maka persaingan semakin tajam. Padahal
daya tampung lapangan kerja sangat terbatas. Akibatnya, banyak pengangguran
terdidik sampai pada tingkat titik jenuh, diperparah kondisi ekonomi yang tidak
menentu, maka lapangan kerja semakin sempit. Fenomena ini tidak hanya dirasakan
tenaga kerja terdidik, lebih parah lagi dirasakan pengangguran tidak terdidik
yang tentu dengan kompetensi yang minim. Implikasi logis dari dua dilema
pengangguran ini tentunya berkontribusi pada peningkatan jumlah pengangguran
terbuka di Indonesia.
E. Kesimpulan
Dilema bangsa
terkait dengan pengangguran terbuka sesungguhnya difasilitasi oleh dua hal
yaitu menumpuknya jumlah pengangguran terdidik (lulusan PT) dan tidak terdidik
dengan tingakt kompetensi tidak sinkron dengan kebutuhan pasar (lapangan
kerja). Hal ini diperparah dengan minimalnya lapangan kerja yang tersedia jika
dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun,
terlebih dari kalangan lulusan PT yang sudah mengeluarkan biaya yang cukup
mahal untuk pendidikannya (dengan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan
dunia kerja). Di samping itu juga lambatnya pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan
perkembangan ekonomi di beberapa daerah.
F. Daftar Pustaka
§ Kompas, Pengangguran
Terdidik Masih Tinggi, Kamis, 27 September 2009.
§ Marius, Jelamu Ardu, Memecahkan masalah Pengangguran
di Indonesia,Makalah,IPB,April 2004.
§ Suryadi, Ace, Pendidikan,
Investasi SDM dan Pembangunan, Balai Pustaka:Jakarta,1999.
§ Tilaar, HAR., Perubahan
Sosial dan Pendidikan.Gramedia:Jakarta,2002.
§ Tilaar, HAR., Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisai, cetakan kedua,
Grasindo:Jakarta,2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar