Sabtu, 04 Mei 2013

Tugas 1 Pendidikan Tinggi Dan Pengangguran Terbuka: Sebuah Dilema



PENDIDIKAN TINGGI DAN PENGANGGURAN TERBUKA: Sebuah Dilema

A.   Abstrack
Sistem nasional pendidikan saat ini mengaku tidak cocok dengan bidang pekerjaan. Fenomena ini merupakan refleksi dari tingkat pengangguran yang tinggi lulus dari tingkat sekunder dan tersier pendidikan. Masalah ini pengangguran tampaknya menjadi perdebatan terus menerus sejak lulusan ingin menjadi pegawai pemerintah atau buruh dan anggota staf perusahaan, tanpa bersedia menjadi pengusaha. Sebuah survei pada 2009 tenaga kerja nasional menunjukkan bahwa 64% dan 74% dari alumni sekolah sekunder dan tersier, masing-masing, bekerja di kantor pemerintah perusahaan swasta. ini menunjukkan bahwa alumni cenderung menganggur hanya karena mereka menunggu kesempatan untuk menjadi petugas dan buruh, dan enggan untuk menjalankan bisnis mereka sendiri.

B.   Pendahuluan
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.Di makalah ini juga saya akan membahas Pengangguran yang salah satu masalah pokok dalam ekonomi di indonesia sekarang. Jumlah pengangguran di indonesia berdasarkan jenjang perguruan tinggi(PT) cukup mengkhawatirkan, tahun 2005 mencapai 385.538 orang, 2006 menjadi 375.601 orang, tahun 2007 menjadi 408.890 orang tahun 2008 mencapai 704.206 orang dan terakhir tahun 2009 menunjukkan ke angka 1,14 juta orang! Di perkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Sinyal tentang abadinya masalah pengangguran tidak terbantah lagi, namun ironisnya bila pengangguran banyak berasal dari kalangan sarjana. Apalagi mengingat laporan United Nations Development Programme (UNDP) yang melihat pola penggangguran di negara-negara berkembang,termasuk Indonesia, sebagai fenomena unik dimana tingkat penggangguran lebih banyak ditemukan dikalangan mereka yang megenyam pendidikan tinggi.
C.   Landasan Teori
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, dalam pembangunan ekonomi di Negara seperti ini pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih rumit dan lebih serius daripada masalah perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan terendah. Keadaan di Negara-negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukan bahwa pembangunan ekonomi yang telah tercipta tidak sanggup mengadakan kesempatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan penduduk yang berlaku. Oleh karenanya, masalah pengangguran yang mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin bertambah serius. Lebih malang lagi, di beberapa Negara miskin bukan saja jumlah pengangguran menjadi bertambah besar, tetapi juga proporsi mereka dari keseluruhan tenaga kerja telah menjadi bertambah tinggi. Kebanyakan investor asing tidak mau menanamkan modalnya di Indonesia karena biaya ekonominya sangat tinggi akibat masih kuatnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
D.  Pembahasan
1.      WAJAH DUKA PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA
Abad 21 ini, dunia pendidikan dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Banyaknya alumni PT yang memiliki nilai bagus dan gelar, namun ketika kembali ke masyarakat bingung apa yang harus diperbuat. Kondisi real masyarakat yang jatuh berbeda dengan kehidupan dikampus membuat PT harus mampu menjadikan lulusannya mampu bersaing dan mampu menawarkan mutu serta pelayanan yang bagus. Untuk mengantisipasi tuntutan perkrmbangan, PT harus mampu melayani berbagai kebutuhan masyarakat secara kompetitif. Nilai kompetitif PT sesungguhnya terletak pada kemampuannya melayani masyarakat dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme yang tinggi. Karenanya institusi PT harus membuat visi,misi dan tradisi yang berorientasi efisiensi dan profesionalisme guna membangun dan menghasilkan lulusan yang kompetitif.
Bagaimanapun juga tantangan masa depan, khususnya era globalisasi, adalah perubahan masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Salah satu ciri masyarakat industri adalah terbuka,kritis,dinamis mampu bersaing, dan cerdas. Tanpa semua itu tidak mampu dia mengadakan releksi,menganalisis data,berfikir logis sistematis dan dapat memgantisipasi kehidupan masa depan yang cepat berubah. Untuk itu, PT harus mengantisipasi kecenderungan ini dalam perkembangan dan perubahan zaman.
Disamping itu tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah persaingan dunai kerja. Dengan banyaknya PT yang menghasilkan lulusan siap kerja secara besar-besaran yang diikuti meledaknya tenaga kerja produktif, maka persaingan semakin tajam. Padahal daya tampung lapangan kerja di Indonesia sangat terbatas. Akibatnya banyak pengangguran terdidik sampai pada tingkat titik jenuh, kemudian diperparah kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini, maka lapangan kerja semakin sempit. Fakta cenderung menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia (perguruan tinggi/PT) lebih produktif mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Contoh banyak PT Negeri(PTN) membuka jalur ekstensi dan D3, meski kenyataannya kampus tersebut tak memiliki sarana pendidikan dan dosen yang sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Sedangkan PT Swasta (PTS) harus menghemat pengeluaran masuk dana pendidikan karena takut mahasiswa terbebani uang kuliah terlalu tinggi. Tindakan ini mengakibatkan PT lebih berfungsi sebagai mesin penghasil ijazah ketimbang manusia yang memiliki kematangan ilmu dan kemandirian. Preseden ini diperkuat oleh kenyataan bahwasanya banyak alumni PT harus menunggu minimal satu tahun(bahkan bertahun-tahun) untuk memperoleh satu perkerjaan. Tidak jarang gaji yang diperoleh tidak sebanding dengan investasi pendidikan yang dikeluarkan, dan pekerjaan yang diperoleh tak sesuai dengan bidang keilmuan yang  dimiliki. Jenjang pendidikan tinggi sebagai jaminan memperoleh pekerjaan yang baik ternyata menjadi doktrin bagi kebanyakan masyarakat kita. Pandangan ini dalam banyak hal turut memperparah banyaknya lulusan PT yang jobless. Realitanya masih dapat disaksikan dewasa ini bahwa para sarjana masih terus disibukkan persoalan mencari ketja,sementara ketersediaan lapangan kerja makin sempit. Alhasil, tidak dapat lagi dipungkiri bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada menghasilkan lulusan walaupun tingkat kemandirian dan semangat kewirausahaannya rendah. Presentase yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bahkan mempekerjakan orang lain masih sedikit. Padahal jika ditinjau dari logical perspektif,menjadi seorang sarjana seharusnya punya kemampuan lebih dibandingkan yang bukan sarjana. Seorang sarjana harus mampu berfikir konstruktif,kreatif,dan inovatif. Sarjana harus menjadi pelopor, tidak hanya mampu menunggu kesempatan. Namun, faktanya tidak semua sarjana mempunyai pemikiran seperti ini. Padahal, peradaban sebuah bangsa yang maju sangat ditentukan oleh kemajuan pendidikannya. Namun, perlu juga jadi perhatian bahwa dilema penyelenggaraan pendidikan di PT, yaitu antara memenuhi permintaan pasar atau bertahan dalam proses pendidikan yang ideal. Maka, orientasinya menghasilkan keuntungan,jumlah mahasiswa harus banyak. Mereka berbuat demikian karena dituntut bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan opersionalnya. Sehingga munculla image bahwa pendidikan tinggi adalah pabrik pendidikan. Disebut pabrik, karena telah sepenuhnya menjadi lahan bisnis,hampir tidak mempunyai kaitan dengan komitmen sosial,dengan idealisme mencerdaskan bangsa. Fenomena itu makin menambah persoalan PT kita yang bukannya mengatasi masalah pengangguran tapi malah  menambahnya. Kegagalan PT menjawab persoalan pengangguran memberi bukti nyata tentang itu. Persoalannya, mulai dari mana membenahi pendidikan nasional kita? Kiranya perlu penafsiran tajam dalam hal ini,bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang demikian kompleks maka mesti dimulai dari yang paling besar (prioritas). Dalam dunia pendidikan,masalah terbesar yang mesti jadi prioritas penyelesaian adalah kualitas dan mutu. Artinya, kualitas sistem dan metode pendidikan,dosen,kesejahteraan tenaga pendidik,metode mengajar,dan infrastrukturnya. Dalam banyak hal patut dicermati,peningkatan kualitas pendidikan adalah titik penentu yang mempertinggi kesempatan orang terdidik memperoleh pekerjaan.
2.     DILEMA KUALITAS LULUSAN PERGURUAN TINGGI
Tingginya angka pengangguran lulusan PT disebabkan berbagai faktor, antara lain,kompetensi keahlian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja,lulusan program studi sudah jenuh dimasyarakat, atau tidak memiliki keahlian apapun untuk bersaing di dunai kerja? Fenomena ini didukung hasil penelitian Ditjen Dikti yang menunjukkan bahwa, mereka yang tidak dapat bersaing di dunai kerja umumnya lulusan program studi ilmu sosial. Dengan demikain, tentu kualitas PT dalam melahirkan sarjana/diploma akan terus dipertanyakan. Lulusannya dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan pasar, pertanyaannya adalah bagaimana mengatasi kesenjangan ini? Fakta mengenai lonjokan pengangguran terdidik saat ini makin memprihatinkan, bila tidak mau disebut menyedihkan. PT sering menempuh jalan pintas dengan membuka program studi yang sedang “laris” hanya dengan tujuan untuk tetap bertahan hidup, sementara sarana prasarana pendukung program studi tersebut masih minim dimiliki. Muaranya, lulusan yang dihasilkan pun tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk bertarung didunia kerja. Salah satu sebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah, karena PT diaggap sebagai bisnis yang menghasilkan keuntungan besar. Banyak dosen tidak memenuhi syarat mengajar dan PT kurang melaksanakan tugasnya sebagai research center and development. Tak mengherankan bila kurikulumnya kurang sesuai dengan perkembangan dunia usaha. Melihat fakta ini, semestinya lembaga-lembaga pendidikan punya tanggung jawab moral terhadap lulusannya. Dunia pendidikan jangan sampai jadi “pabrik” tenaga pengangguran terdidik. Jalannya tentu saja membangun mentalitas entrepreneur dan life skill,sehingga tamatan PT bukan sekadar mencari pekerjaan, melainkan menciptakan lapangan pekerjaan.
3.     PENDIDIKAN TINGGI DAN TUNTUTAN PROFESIONALISME
Profesionalisme pada prinsipnya merupakan pembedahan ulang atas satu benih diskusi yang telah ada selama manusia tumbuh dan berkembang dalam kesadaran terhadap berbagai realitas yang ada di luar dirinya. Jadi, benih profesionalisme sebenarnya sudah ada sejak manusia dilahirkan sebagai pribadi unik, mempunyai bakat dan kemampuan berbeda dari orang lain. Sejak itu, seorang manusia disiapkan menjadi tenaga profesional yang sesuai dan cocok dengan bakat dan kemampuannya. Benih profesionalisme tumbuh menjadi besar dan kokh saat ilmu-ilmu mendeklarasikan kemandiriannya dari ikatan mater scientarium. Ilmu-ilmu menjadi semakin terspesialisai dan menuntut untuk dikuasai dengan kemampuan khusus. Ia membangun batas-batas dalam hal metode kerja dan tidak boleh dilanggar kedaulatannya bahkan tidak boleh dicampuradukkan dengan metode dan cara kerja ilmu lain. Karena itu, seorang manusia jarang, bahkan tidak akan mungkin,mengusai dan mendalami semua ilmu yang ada. Ia hanya dapat dan mampu menjadi ahli dibidang ilmu tertentu.
Dalam dunia modern, benih profesionalisme sangat kuat dan sudah masuk ke wilayah seluruh lapisan masyarakat. Setiap manusia sadar bahwa dirinya menjadi profesional hanya dalam bidang tertentu. Profesionalisme merupakan kesadaran diri seorang manusia sebagai makhluk terbatas dan menjadi sahabt manusia modern. Tuntutan profesionalisme juga mempengaruhi atmosfer pendidikan didalamnya. Dunia pendidikan terdorong untuk mampu menghasilkan ahli-ahli yang profesional dalam bidang tertentu. Sistem pendidikan yang menekankan spesialisasi tertentu menalurkan banyak ahli profesional. Ia melahirkan orang yang mempunyai kompetensi besar dalam bidang ilmu tertentu sehingga masing-masing bidang garapan dalam masyarakat mengalami kemajuan. Ia memacu usaha manusia untuk menjadi semakin sejahtera, suatu kejuatan yang sangat menggembirakan. Mesikpun demikian, suatu sistem yang menuntut profesionalisme dapat mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat. Sistem ini mengkondisikan orang untuk hanya tahu tentang bidang yang digelutinya. Ia dapat menjadi pribadi yang begitu peduli tethadap bidang ilmunya, tetapi sangat tidak peduli terhadap bidang di luar dirinya. Ia hanya berkutat dengan profesinya dan tidak berpikir tentang hal-hal lain yang lebih matang dan manusiawi. Akibatnya, individu kehilangan kemampuan dialog dan komunikasinya. Apabila sistem pendidikan modern telah sampai pada taraf menciptakan keterpecahan masyarakat, maka sistem itu telah melangkahi hakikatnya. Pendidikan yang baik membuahkan kebijaksanaan. Pendidikan harus menjadi rahim bagi kelahiran profesional yang peduli terhadap masalah masyarakat. Suatu sistem yang menghasilkan ahli yang hidup bersama,merasakan persoalan, dan peduli terhadap kepedihan masyarakat. Profesionalisme bagi PT adalah sebuah keniscayaan. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, PT dituntut untuk makin kompetitif dalam melayani kebutuahn masyarakat. Karena nilai kompetitif PT sesungguhnya terletak pada kemampuannya dalam melayani masyarakat dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme tinggi. Untuk menghasilkan lulusan yang profesional, PT harus menggunakan pola strategi yang lebih terbuka dan fleksibel. Artinya, pola yang dikembangkan tidak terikat secara kaku sebagaimana yang digariskan, tetapi lebih realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mampu berkompetisi adalah dengan peningkatan mutu pendidikan tinggi. Hal tersebut bisa dilakukan melalui penerapan sistem manajemen mutu, dan yang paling sederhana adalah memenuhi Badan Akreditasi Nasional (BAN). Sebenarnya ini sja tidak cukup,masih diperlukan suatu komisi PT yang bertugas mengaudit dan melakukan evaluasi terus menerus terhadap institusinya sendiri. Mekanisme manajemen mutu ini  biasanya meliputi ‘self evaluation;’peer review by panels of experts’, yang biasanya mengikut-sertakan anggota dari ‘luar’ institusi itu; menggunakan informasi statistikal yang relevan dan indikator-indikator kinerja; serta survey terhadap kelompok-kelompok kunci dalam civitas akademika.
Dengan demikian sistem pendidikan tinggi itu memadai apabila, pertama, mampu melahirkan para profesional yang cakap intelektual,emosional dan sosial; tidak gagap dengan spesialisasi pilihannya. Kedua, mampu menyediakan peluang bagi diajarkannya bidang pengetahuan umum. Ketiga, mampu membuka peluang kehadiran kelompok diskusi yang dapat menampung peserta didik dari jurusan apa saja untuk membahas masalah apa saja. Kesempatan seperti ini membantu proses partus-nya para profesional serta menghidupkan kemampuan dialog dan komunikasi dalam masyarakat. Masyarakat dalam memadukan,mengarahkan dan memberi makna pada kemajuan yang dialaminya. Intinya masyarakat tidak kehilangan visi hidupnya yang holistik.


4.     DILEMA PENGANGGURAN
Dilema penganggur terdidik “mundur kena, maju kena” menggambarkan kondisi para lulusan PT saat ini. Sekian waktu bergumul di kampus ternyata tak mampu mengangkat harkat penyandang status sarjana. Bagaimana tidak menjadi dilema, penganggur kalangan terdidik di tahun 2007 saja naik mencapai 740.206 orang. Polemik penganggur terdidik terjadi akibat tidak sejalannya kebutuhan industri terhadap SDM dengan kemampuan individu seorang sarjana. Dunia kerja mengajukan persyaratan bagi lulusan PT yang memiliki kemampuan individu dan kerja tim, kemampuan berbahasa inggris, kemampuan komunikasi, dan pengalaman kerja. Hal ini tidak didapat dari kuliah formal dengan materi terbatas,sebaliknya kebanyakan mahasiswa memperolehnya karena inisiatif sendiri. Padahal, tak sejalan dengan kebutuhan tersebut justru diterapkan kebijakan kurikulum yang sngat padat dan waktu kelulusan yang dipersingkat. Maksudnya ini akan menjadi pencitraan dari visi sebuah organisasi pergerakan mahasiswa dengan kegiatan yang juga mendukung keilmuannya. Misalnya saja organisasi yang memiliki kebiasaan diskusi sosial atau komunitas bahasa inggris. Kegiatan ini selain dapat dilaksanakan setelah kegiatan kuliah pun dapat meningkatkan soft skill. Tentunya tanpa harus menghapuskan sisi idealisme mahasiswa dari benak, sehingga dapat memenuhi dan merawat keduanya, antara idealisme dan tuntutan hidup. Dalam hal ini, universitas harus memberi kesempatan dan fasilitas kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan lunak, karena tentu universitas dibayar mahal bukan tanpa jaminan kepada lulusannya. Dengan memilih jalur mandiri itu mahasiswa malah akan lebih mampu membuka peluang lapangan kerja baru dengan memperkerjakan karyawan. Ketersediaan lapanagn kerja pun tidak sesuai dengan keinginan mahasiswa. Lulusan banyak yang menginginkan kerja layak di kantoran, sehingga berkas lamaran justru banyak bertumpuk di sektor ini, dengan begitu banyak saingan. Usaha tersebut setidaknya dapat meminimalisir jumlah pengangguran yang ada.
Sepanjang tahun 2009, kondisi ketenagakerjaan masih belum mengalami perbaikan yang berarti. Angka pengangguran terbuka tahun 2009 diperkirakan akan semakin meningkat dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih relatif kecil dan cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan kerja sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka diperkirakan akan meningkat menjadi 1,51 juta orang.  Oleh karena itu perlu kiranya pemerintah melakukan upaya-upaya cermat guan mengurangi pengangguran terbuka.
Dengan banyaknya PT yang menghasilkan lulusan siap kerja secara besar-besaran yang di ikuti meledaknya tenaga kerja produktif, maka persaingan semakin tajam. Padahal daya tampung lapangan kerja sangat terbatas. Akibatnya, banyak pengangguran terdidik sampai pada tingkat titik jenuh, diperparah kondisi ekonomi yang tidak menentu, maka lapangan kerja semakin sempit. Fenomena ini tidak hanya dirasakan tenaga kerja terdidik, lebih parah lagi dirasakan pengangguran tidak terdidik yang tentu dengan kompetensi yang minim. Implikasi logis dari dua dilema pengangguran ini tentunya berkontribusi pada peningkatan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia.
E.   Kesimpulan
Dilema bangsa terkait dengan pengangguran terbuka sesungguhnya difasilitasi oleh dua hal yaitu menumpuknya jumlah pengangguran terdidik (lulusan PT) dan tidak terdidik dengan tingakt kompetensi tidak sinkron dengan kebutuhan pasar (lapangan kerja). Hal ini diperparah dengan minimalnya lapangan kerja yang tersedia jika dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah pengangguran dari tahun ke tahun, terlebih dari kalangan lulusan PT yang sudah mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk pendidikannya (dengan kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja). Di samping itu juga lambatnya pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan perkembangan ekonomi di beberapa daerah.
F.    Daftar Pustaka
§  Kompas, Pengangguran Terdidik Masih Tinggi, Kamis, 27 September 2009.
§  Marius, Jelamu Ardu, Memecahkan masalah Pengangguran di Indonesia,Makalah,IPB,April 2004.
§  Suryadi, Ace, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan, Balai Pustaka:Jakarta,1999.
§  Tilaar, HAR., Perubahan Sosial dan Pendidikan.Gramedia:Jakarta,2002.
§  Tilaar, HAR., Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisai, cetakan kedua, Grasindo:Jakarta,2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar