Abstrak
Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui apakah korupsi mempengaruhi kehidupan ekonomi di
Indonesia. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek
korupsi tersebut? Bagaimana multiplier effect bagi efisiensi dan efektifitas
pembangunan ekonomi di Indonesia?
Pemberantasan
korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik. Oleh karena itu dibutuhkan
kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi
yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di
Indonesia.
A. Latar Belakang Masalah
Peraturan Perundang – Undangan merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Tebah pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terdapat gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi Akhir-akhir ini.
Para pejabat Negara menjadikan kasus korupsi dijadikan senjata ampuh dalam pidatonya, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.
Lemahnya hukum di Indonesia dijadikan senjata ampuh para koruptor untuk menghindar dari tuntutan. Kasus korupsi mantan Presiden Suharto, contoh kasus korupsi yang yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Padahal penyelesaian kasus-kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu mentimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
B. Pembatasan Masalah
1. Bagaimana korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?
2. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?
3. Bagaimana Mutiplier effec bagu efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di Indonesia?
C. Landasan Teori
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
"budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif
kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi
berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai
tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi
dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi
mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas
dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum
bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran
kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena
perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui
berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal
Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara
(perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah
dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya
oleh Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam bukunya Confronting: The Elemen of National Integrity System, menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi keprihatianan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep pemerintahan totaliter, dictator yang meletakakan kekuasaan di tangan segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam system social politik yang demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah berarti dalam system social politiknya teleransi bahkan memberikan ruang terhadap praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggran hak asasi manusia, lanjut Pope.
Menurut Dleter Frish, mantan Direktur Jendral Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih karena alas an keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan public, korupsi selalu menyebabkan situasi social ekonomi tak pasti (uncertenly). Ketidakpastian ini tidak asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Sector swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi, Akhiar Salmi dalam makalahnya menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tidak pidana korupsi sebagaimana Maksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat Ekonomi Pancasila, dalamdalam artikelnya menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakan menjadi “KKN”. Perubahan nama dari korupsi menjadi KKN ini barang kali beralasan karena praktek korusi korupsi memang terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak “penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek korupsi lebih mudah diteleransi dibandingakan dengan penggunaan kata korupsi secara gambling dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
B. Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan permasalan mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media masa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “anactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominant di Negara berkembang, pengusaha tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominant terjadi di Indonesia, yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan.
Fakta yang terjadi menunjukan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi menggulur Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korusilah system ekonomi social rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam buku “The Confession of Economic Hit Man” John Pakin mempertegas peran besar Negara adidaya seperti Amerika serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan perusahaan Multinasional terperangkap dalam hutang luar Negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh pengusaha Indonesia saat ini. Demokrasi dan metamorfosis Korupsi pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan Icon orde baru, Soeharto, membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebutperubahan tersebut. Namun sayangnya reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Budle gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrassy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau ditanya rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulu para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tertralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi dan desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan kekuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signefikan. Disharmonisasi politik ekonomi social, grafik pertumbuhan jumlah rakyat terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia praktek korupsi makin mudah ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial., kepentingan pribadi menjadi pilihan utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem integritas public. Biro prlayanan public justru digunakan oleh pejabat public untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan public, bukan prioritas dan orientasi yang utama. Dan kedua alasan ini menyeruak di Indonesia, justru memfasilitasi korupsi. Mubaryanto menjelaskan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislative di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili aspirasi rakyat, jika sejak krisis multidimensi yang berasal dari krimon 1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan social sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak kembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah aturan main berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Kita menghimbau para filosof dan ilmuan-ilmuan social, untuk bekerja keras dan berpikir secara empiric indktif yaitu selalu menggunakan data-data empiric dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saj, lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori berat. Dengan berpikir empiric kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan. Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukan bahwa skandal ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan asalan untuk mengendalikan sumber dya alam kepada perusahaan multinasional dan negar adi daya yang Didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundik-pundi harta bagi kepentingan politik dan pribadi maupun Kelompoknya.
C. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok Setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia banyak pengamat ekonomi merupakan kasus Pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonomi dan pengamat politik dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislative daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan social politik ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya penguatan-penguatan yang lahir melalui Perda (pendapan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, inpestor menahan diri untuk masuk daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan akibat itu semua kemiskinan meningkat karena Lapangan pekerjaan menyempip dan pembangunan ekonomi pembangunan di daerah terhambat boro-boro memacu PAD. Terdapat bobot yang menentukan daya saing infestasi daerah. Pertama, factor kelembagaan. Kedua, factor inpraskruktur, ketiga, fakor social politik. Keempat, factor ekonomi daerah. Kelima, factor ketenaga kerjaan hasil penelitian komite pemantauan Pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan dalam hal ini pemerintah daerah sebagai factor penghamabat terbesar bagi inpestasi hal ini berarti birokrasi menjadi penghambat utama bagi infestasi yang menyebabkan munculnya Haighcost economy yang beratri praktek korupsi yang melalui pungutan-pungutan liar yang berarati liar dan dana pelican marah pada awal Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah terserbut. Dan jelas ini emnhambat tumbuhnya kesempatan Kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi social politik dominant menjadi hambatan bagi tumbuhnya di daerah.
Pada 2005 banyak daerah banyak melalukan pemilihan Kepala daerah (Pilkada secara langsung yang menyebabkan instabilitasi politik di daerah yang membuat enggan para inspector untuk menanam modalnya di daerah. Dalam situasi politik ini, inspector local memilih modalnya kepada ekspestasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon Kepala daerah tertentu dengan harapan akan memperoleh kemenagan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi. Justru hanya akan meperbesar pengeluaran pemerintah (Goverenment expenditure) karena para inspector hanya mengerjakan prokyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan aut put baru di luar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur Negara) bahkan akan berdampak pada inspestasi pengeluaran pemerintah karena untuk meningkatkan PAD-nya mau-tidak mau pemerintah harus mengenjot pemdapatan dari pajak dan retrevusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi yang menjadi penyebab munculnya haigh cost economy yang melahirkan ekonomi tersebut akan di dukung oleh birokrasi yang njelimet.
Seharusnya titik tolak daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik infestasi daerah yang sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka Waktu pengurusan Dokumen usaha serta membersihkan birokrasi dari prektek korupsi. Peneingkatan PAD (pendapatan asli daerah), pengurangan jumlah pengurangan jumlah penganguran dan kemiskinan pasti mengikuti.
D. Memberantas Korupsi Demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghamabt pengembangan system pemerintahan demokratis. Korusi Memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau Kelompok, yang mengesampingkan kepentingan public. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah menikmati pembangunan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern mengedepankan system tanggung gugat dalam tatanan seperti ini harus muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang, yang juga harus mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi. Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan merupakan bagian dari tata pemerintahan, yudikatip tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun memiliki ruang kebebasan menegakan kedaulkatan hukum dan peraturan dengan Demikian akan terbentuk lingkaran perbaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melalukan pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini sangat mudah dituliskan atau dikatakan dari pada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktui yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar. Bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-tugas yang efektif dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai prilaku beresiko yang sangat tinggi dengan hati yang sedikit.
Kedua, hal yang paling sulit dan punda mental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang dimaksud bukan sekedar kemauan para politis dan orang-orang yang berkecimbung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanisfestasikan dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sasial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai elemen atau sastra social. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawabuntuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politis dan pejabat Negara tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan social politik dari masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara social politik akan memilih pimpinan (politis) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara social politik pula pilar-pilar peradilan dan media massa dapat di awasi sehingga membentuk integritas nasional yang alergi korupsi. Ketika kontrusi integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasar social politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial.
BAB III
KESIMPULAN
Merangfkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksankan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi dan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama wabah yang tidak pernah tepat Sasaran ibarat “yang sakit Kepala, kok yang di obati tangan”. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
DAFTAR PUSTAKA
Harian Kompas, 13 Juni 2006,
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia” MPKP, FE,UI.
Mobaryanto, artikel, “Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004.
Jeremy Pope, “Confronting Corruption: The Element Of National Integrity System”. Transparency International, 2000.
Robet A Simanjuntak, “Implementasi Desentralisasi Fiskal: Problem, Prospek, dan Kebijakan”. LPEM UI, 2003.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah .
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Harian Kompas, 13 Juni 2006,
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia” MPKP, FE,UI.
Mobaryanto, artikel, “Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM, 2004.
Jeremy Pope, “Confronting Corruption: The Element Of National Integrity System”. Transparency International, 2000.
Robet A Simanjuntak, “Implementasi Desentralisasi Fiskal: Problem, Prospek, dan Kebijakan”. LPEM UI, 2003.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah .
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar