Dampak Asean-China Free Trade Area (ACFTA)
Terhadap Industri Nasional Ditinjau Dari kebijakan Persaingan Usaha Di
Indonesia
ABSTRAK
Perdagangan Bebas adalah suatu model hubungan jual beli di
dunia hukum internasional. Perdagangan bebas artinya perdagangan yang tidak
melakukan diskriminasi terhadap impor dan ekspor suatu barang. Perangkat hukum
internasional yang mengatur tentang perdagangan bebas terdapat dalam dokumen
Final Act Agreement on WTO yang memuat aturan hukum internasional. Pelaksanaan
perdagangan bebas dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) di Indonesia secara
regulasi telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of South East Asian
Nations and the People’s Republic of China, sebagaimana telah diratifikasi,
membentuk peraturan perundangan yang berkaitan dengan ACFTA (Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004). Adapun beberapa permasalahan yang
diangkat adalah: Apa saja tujuan pengaturan perdagangan bebas yang diatur dalam
ACFTA, bagaimanakah implementasi ACFTA di Indonesia, dan apa saja
kendala-kendala dalam implementasi ACFTA di Indonesia. Metode yang digunakan
adalah pendekatan normatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan peraturan
perundang-undangan, literatur dan buku-buku referensi. Berdasarkan hasil
penelitian yang penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1) Tujuan pengaturan
perdagangan bebas yang diatur dalam ACFTA merupakan sarana untuk mempermudah
hubungan negara dalam melakukan perdagangan internasional serta dapat
meningkatkan daya saing antar pelaku usaha dalam kawasan perdagangan bebas,
dengan pembebasan hambatan-hambatan perdagangan baik berupa tarif maupun non
tarif sebagaimana yang diamanatkan dalam GATT/WTO dalam rangka mendorong
kegiatan lalu lintas perdagangan internasional. 2) Implementasi ACFTA di
Indonesia dari segi regulasi telah sesuai dengan ketentuan hukum internasional
dan telah diratifikasi dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation between the Associaton of South east Asean Nations and the People’s
Republic of China dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). 3) Kendala implementasi ACFTA
di Indonesia adalah infrastruktur yang berbelit-belit dan lemahnya IPTEK dalam
meningkatkan daya saing dalam perdagangan internasional.
A. PENDAHULUAN
Di tengah gempuran hebat produk
China ke Tanah Air, Indonesia menegaskan tetap ikut memenuhi komitmen
terlibat dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China mulai 1 Januari
2010. Itu berarti pasar kita bakal kian
dikepung oleh produk China, baik tekstil, buah-buahan, bumbu masak, maupun
mainan anak-anak. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak
adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam
perdagangan antar individual-individual
dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Perdagangan
internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang
diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang
impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh
perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan
yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan
hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan
perusahaan-perusahaan besar. [1]
Saat ini hampir semua jenis produk China melenggang bebas masuk ke
negeri ini. Padahal, pada era 1970-an produk China yang diimpor hanya produk
yang tidak bisa dibuat di Indonesia. Di negara maju seperti Australia saja,
produk Cina masih dikenakan pembatasan
Dengan demikian, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China amat jelas bakal
lebih menguntungkan China daripada negara-negara ASEAN, dan sangat jelas
terutama sangat merugikan Indonesia. Menteri Perindustrian MS. Hidayat pernah
mengatakan indikasi kerugian implementasi ACFTA antara lain menurunnya produksi
(industry) sekitar 25-50 persen, penurunan jumlah penjualan di pasar domestic
10-25 persen, dan penurunan keuntungan 10-25 persen. selain itu juga
pengurangan tenaga kerja 10-25 persen. [2]
Dilihat dari deskripsi permasalahan diatas timbul pertanyaan mendasar,
sektor industri mana saja yang mempunyai
daya saing lemah dan bagaimana upaya pemerintah melindungi industri tersebut?
Bagaimana implikasi pemberlakuan ACFTA terhadap industri dalam negeri dilihat
dari perspektif hukum persaingan usaha di Indonesia ?
B.LANDASAN
TEORI
Menjelang
didentangkannya lonceng tahun 2010, sebagian media dan pengamat ekonomi kita
sibuk memperbincangkan kontroversi perjanjian perdagangan bebas antara
perhimpunan negara-negara asia tenggara (ASEAN) dengan Republik Rakyat Tiongkok
yang biasa disebut Asean China Free Trade Agreement (AC-FTA). Banyak pendapat
yang mengemuka dalam isu ini. Sebagian besar dari para pengamat memprediksi
dampak buruk dari perjanjian dagang bebas ini. Mereka berpendapat bahwa
penurunan tarif/bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok hingga 0% hanya
akan merugikan ekonomi nasional. Pendapat ini didasari pada fakta sebelum
AC-FTA ini resmi berlaku, barang-barang import dari Tiongkok yang termasyur
dengan harganya yang murah, telah mendominasi pasar nasional. Meski dari segi
kualitas barang impor dari Tiongkok ini tidak lebih baik dari produk lokal,
para konsumen cenderung memilih barang impor karena selain harga yang lebih
murah, dari segi design kemasan pun lebih menarik. Namun sebaliknya, pihak
pendukung terlaksananya AC-FTA yang umumnya dari kubu pemerintah, menerangkan
bahwa perjanjian ini akan berdampak positif bagi ekspor produk Indonesia ke
Republik Rakyat Tiongkok. Tiongkok dengan penduduk terbanyak di dunia dan
pertumbuhan ekonomi terpesat menjadikannya sebuah pangsa pasar yang potensial
bagi eksportir Indonesia.
Namun arah
angin di publik Indonesia saat ini tetap mengarah ke upaya untuk melakukan
renegosiasi pelaksanaan AC-FTA. Indonesia dinilai belum siap dan oleh
karenanya, hanya akan membawa lebih banyak kerugian, daripada keuntungan yang
mampu diperoleh. Hakikatnya, ada beberapa alasan mengapa isu AC-FTA ini hangat
diperdebatkan di publik. Pertama, adalah ketidaksiapan industri manufaktur
Indonesia terhadap serbuan barang-barang murah dari Tiongkok. Masih tingginya
biaya produksi di Indonesia yang diakibatkan dari rendahnya efisiensi produksi
menyebabkan produk hasil industri lokal tidak dapat bersaing dari segi harga.
Selain itu, kekhawatiran para ekonom adalah dampak negatif terhadap
meningkatnya jumlah pengangguran. Diprediksi bahwa industri manufaktur dan unit
usaha kecil menengah yang tidak mampu bersaing dengan harga barang-barang dari
Tiongkok, akan gulung tikar atau melakukan pengurangan tenaga kerja.
Sistem pasar
bebas antar negara ini tak ayal menjadi suatu pemakluman di era globalisasi.
Bahkan dari beberapa abad lalu pun dua pemikir Inggris Adam Smith dan David
Ricardo telah mengemukakan pendapatnya tentang hal ini. Dalam bukunya yang
lazim dikenal The Wealth of Nations, Adam Smith menyarankan kebebasan tiap
individu untuk melakukan perdagangan tanpa ada batasan atau halangan apapun.
Teori yang ia kemukakan ini hakikatnya merupakan antitesis dari paham
merkantilisme yang saat itu dianut oleh negara-negara Eropa. Paham
Merkantilisme menghendaki kwantitas ekspor suatu negara yang selalu lebih
tinggi daripada kwantitas impornya, sehingga selalu tercipta neraca perdagangan
surflus. Jika ditilik lebih dalam, sistem ekonomi ini hanyalah akan
menguntungkan negara yang memiliki sumberdaya baik alam atau manusia yang kuat.
Ia mengekspor banyak komoditi ke negara lain, namun menerapkan proteksi
terhadap barang impor yang ingin masuk ke pasar domestiknya. Sehingga demikian,
akan selalu terdapat negara industri/kaya, dengan negara konsumen/miskin. Oleh
Adam Smith, sistem ini dikirtik, dan ia menawarkan suatu sistem pasar bebas
yang dapat memicu semua potensi individu untuk bersaing secara sehat. David
Ricardo pun mendukung teori ini dengan mengatakan bahwa untuk dapat bersaing,
tiap produk harus memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif ini
diperoleh dari efisiensi proses produksi yang akan berdampak pada optimalisasi
harga jual. Dua bangsa yang memproduksi produk yang sama akan saling bersaing
dalam masalah efisiensi proses produksi dan harga jual.
Dari sisi
historis, hakikatnya sistem pasar bebas bukanlah sebuah hal yang baru bagi
Indonesia yang dahulu bernama Nusantara. Dalam nyanyian tradisional kita
mengenal ungkapan bahwa nenek moyang kita adalah seorang pelaut. Nusantara
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, telah menciptakan pelaut-pelaut
tangguh tidak hanya antar pulau, namun pula sampai ke daratan Tiongkok dan
pesisir Afrika. Kota-kota pesisir seperti Makasar, Banten, Demak, Malaka, dan
Tuban adalah beberapa bandar pelabuhan internasional yang kerap disinggahi
pedagang mancanegara. Saat sebelum kedatangan bangsa Eropa yang memonopoli perdagangan
di Nusantara, telah terjadi perdagangan bebas antar bangsa. Tak ada tarif bea
masuk atau penetapan kuota apapun. Semua bebas untuk berdagang di bandar-bandar
dan tawar-menawar tanpa ada tekanan. Baru setelah bangsa Eropa terutama
Portugis dan Belanda menguasai perdagangan Nusantara, mereka menerapkan sistem
monopoli yang mengharuskan produsen domestik hanya menjual barang dagangannya
ke pihak Portugis/Belanda. Pelayaran Hongi adalah salah satu bentuk nyata dari
patroli antisipasi penyelendupan yang dilakukan oleh orang Maluku yang ingin
menjual rempah-rempah ke pedagang lain. Sistem pembatasan dalam perdagangan ini
masih berlaku hingga saat ini dengan dalih untuk melindungi ekonomi domestik
dan surflus ekspor.
C.PEMBAHASAN
Persaingan Perdagangan Indonesia - China
Sejak 1 Januari 2010 ini, Indonesia bersama ASEAN
menapaki era perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Pertanyaannya: Apa
implikasi perdagangan bebas ASEAN-China bagi perekonomian Indonesia, khususnya
bagi industri dalam negeri, pertanian, dan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM)?
Mengacu dokumen ACFTA, tujuan perjanjian
perdagangan bebas ASEAN-China untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama
perdagangan kedua pihak dan meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa
melalui pengurangan atau penghapusan tariff atau bea masuk. Juga untuk mencari
area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi saling menguntungkan serta
memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru
ASEAN dan menjembatani gap yang ada di antara kedua belah pihak.
Sewaktu dokumen ACFTA diteken November 2002,
situasi perbandingan ekspor-impor Indonesia-China masih relatif setara. Sebab
walaupun surplus perdagangan dinikmati China, namun selisihnya tidak terlalu
besar. Dengan kata lain, Indonesia relatif bisa bersaing dengan produk China
khususnya maupun negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks itu, dari segi potensi yang
ditawarkan pasar bersama ASEAN, era perdagangan bebas ASEAN-China ini
sebetulnya sangat menjanjikan. Artinya, ada peluang bisnis luar biasa bagi
negara-negara yang terlibat di dalamnya yang sanggup memanfaatkannya. Terlebih
semilyar lebih penduduk China terus meningkat daya belinya seiring pencapaian
ekonomi mereka yang mencengangkan.
Pertanyaannya, setelah 7 tahun sejak diteken,
sanggupkah kita berkompetisi dan memenangkan persaingan dalam era perdagangan
bebas tersebut? Atau, jangan-jangan, justru Indonesia yang bakal menjadi “pasar
bersama” barang-barang produksi China dan negara-negara ASEAN lainnya, yang
dijual dengan harga lebih murah, dengan mutu yang setara atau lebih baik, serta
dikemas lebih cantik?
Mengkhawatirkan, Apabila kita menilik kinerja sektor industri,
pertanian, dan UMKM Indonesia lima tahun terakhir, era perdagangan bebas
ASEAN-China jujur saja justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan
Indonesia.
Sektor industri misalnya, bukannya berkembang
menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami
deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas
kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri
manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat
–sebagai ciri negara yang industrinya makin maju— justru semakin menurun dan
digantikan komoditas primer atau bahan mentah.
Sebagai ilustrasi, ekspor industri baja
Indonesia ke China pada 2002 senilai 30,3 juta dollar AS dan impor 51,4 juta
dollar AS. Namun tahun lalu, defisit Indonesia semakin timpang lantaran ekspor
hanya 36,9 juta dollar AS, sedangkan impor 1.026 juta dollar AS (sumber
BPS/Depperin).
Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita,
seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam
era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya
produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah
satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih
merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost
economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya
keterkaitan industri hulu dan hilir.
Kondisi sektor pertanian lebih
memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan
China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak
hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima
atau diasongkan di atas kereta ekonomi.
Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan
bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di
kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian
kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa
dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN lainnya
ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.
Di tengah kondisi psikologis konsumen
Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa
sendiri, situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih kemampuan daya beli
rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian
yang murah akan sulit dihalau begitu saja.
Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar
bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari China, misalnya,
sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum
lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah,
yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik
rumahan dalam negeri.
Minim Persiapan
Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa perjanjian perdagangan
bebas ASEAN-China semula memang potensial membawa kemajuan bagi perekonomian
Indonesia. Akan tetapi, dengan catatan, sejak ditekennya perjanjian hingga
menjelang diberlakukannya ACFTA, pemerintah bersungguh-sungguh mempersiapkan
daya saing dan kinerja perekonomian dalam negeri agar siap tempur di ajang
perdagangan bebas tersebut.
Namun faktanya, seperti disinggung di atas,
yang terjadi di dalam negeri justru deindustrialisasi, melemahnya daya saing
produk pertanian, dan kian termarjinalisasinya UMKM. Dengan kata lain,
persiapan kita sangat minim.
Banyak faktor yang ikut berperan di sini.
Antara lain, diabaikannya sektor riil dibanding sektor finansial, tak kunjung
dibenahinya infrastruktur, reformasi birokrasi yang tak serius yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi tetap menggejala, gagalnya revitalisasi pertanian, dan
kurangnya komitmen pemerintah melakukan politik afirmasi bagi UMKM.
Lebih dari itu, barang-barang produksi
negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, dan China relatif sejenis. Yakni,
masih sama-sama mengandalkan produksi sektor pertanian dan industri padat karya
seperti tekstil dan alas kaki. Dalam kondisi ini, bisa dipastikan jika kran
pasar bebas dibuka, yang bertahan ialah negara yang sanggup memproduksi barang
dengan cara paling efisien alias murah meriah, dengan kualitas setara bahkan
lebih baik. Posisi inilah yang dimiliki China, yang bisa menekan ongkos
produksi serendah mungkin lantaran berbagai biaya faktor produksi mereka yang
lebih murah.
China bisa merebut posisi unggulan ini
lantaran penguasaan mereka atas teknologi produksi kimia dasar, sehingga bisa
tiap saat memasok bahan baku industri manufakturnya dengan harga murah, tanpa
tergantung impor. Negeri Tirai Bambu ini juga sangat serius mereformasi
birokrasi guna memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan dengan
menghukum mati para koruptornya.
Jadi, bukan lagi rendahnya upah buruh di China yang
menjadi alasan murahnya produk mereka sehingga memenangkan persaingan. Sebab,
upah rata-rata tenaga kerja di Vietnam sekarang ini pun lebih mahal daripada
upah buruh Indonesia, toh daya saing produk Vietnam mulai mengalahkan produk
Indonesia.
Definisi ACFTA,
Proses Terbentuknya ACFTA dan Spekulasi Indonesia dalam ACFTA
A.Definisi
ACFTA
ACFTA adalah
pembukaan pasar dalam nota kesepakatan perjanjian perdagangan bebas yang
disetujui melalui kesepakatan penandatangan yang di lakukan oleh negara 6 ASEAN
( Indonesia, Malaysia, Filiphina, Brunei Darussalam, Thailand dan Singapura )
dengan Negara Cina.
Adapun maksud daripada disepakatinya ACFTA adalah terjadi kesempatan yang sama untuk 6 negara ASEAN dan Cina yang tergabung dalam ACFTA untuk memasuki pasar yang ada pada negara – negara ASEAN dan Cina dengan di sepakatinya pengurangan tarif dan penghapusan tarif.
Adapun maksud daripada disepakatinya ACFTA adalah terjadi kesempatan yang sama untuk 6 negara ASEAN dan Cina yang tergabung dalam ACFTA untuk memasuki pasar yang ada pada negara – negara ASEAN dan Cina dengan di sepakatinya pengurangan tarif dan penghapusan tarif.
B. Proses
Terbentuknya ACFTA
Tahun Proses
2001 Terjadi pertemuan antara Cina dan Negara ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEN – Cina Free Trade Area untuk jangaka 10 tahun ke depan
2002 – 2004 Pemimpin ASEAN – Cina melakukan perundingan dan menandatangani kerangka perjanjian Comperehensive Economic Cooperatioon ( CEC ), yang di dalamnya terdapat pula diskusi Free Trade Area ( FTA ), mereka tidak ragu lagi terhadap proposal yang di tawarkan Cina sangat menarik.
2002 – 2009 Terjadi beberapa pertemuan – pertemuan untuk membahas kesepakatan lebih lanjut perihal kesepakatan dalam ACFTA.
1 Januari 2010 ACFTA mulai di buka di negara ASEAN dan Cina
2001 Terjadi pertemuan antara Cina dan Negara ASEAN di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, Cina menawarkan sebuah proposal ASEN – Cina Free Trade Area untuk jangaka 10 tahun ke depan
2002 – 2004 Pemimpin ASEAN – Cina melakukan perundingan dan menandatangani kerangka perjanjian Comperehensive Economic Cooperatioon ( CEC ), yang di dalamnya terdapat pula diskusi Free Trade Area ( FTA ), mereka tidak ragu lagi terhadap proposal yang di tawarkan Cina sangat menarik.
2002 – 2009 Terjadi beberapa pertemuan – pertemuan untuk membahas kesepakatan lebih lanjut perihal kesepakatan dalam ACFTA.
1 Januari 2010 ACFTA mulai di buka di negara ASEAN dan Cina
C.Spekulasi
Indonesia dalam ACFTA
Dalam perjalanan persetujuan indonesia mengikuti ACFTA merupakan suatu analisa yang sangat diperhitungkan mulai dari analisa kemungkinan mendapatkan keuntungan terhadap prerekonomian di dalam negeri maupun kerugian yang akan di alami oleh Indonesia dalam perjalanannya mengikuti pergulatan dalam persaingan global di kawasan perdagangan bebas ACFTA. Di Indonesia, para pendukung Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat waktu itu menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN.
Sebaliknya, mereka yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya impor produk murah dari China.
Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
Partisipasi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas ini sebenarnya juga patut dipertanyakan. ACFTA, yang merupakan warisan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, tak pernah diratifikasi melalui lembaga perwakilan rakyat, tetapi hanya melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004. Waktu itu pemerintah melihat bahwa kesepakatan perdagangan bebas bilateral hanya akan memberikan dampak pada sebagian sektor ekonomi sehingga ratifikasi DPR tidak diperlukan.
Meskipun sejatinya dalam perjalanan keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA yang masih kurang beralasan dan belum di ketahuinya potensi pemerintah ikut serta dalam ACFTA, apakah memang suatu regulasi yang sudah diperhitungkan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ? atau karena gengsi melihat para negara sahabat sejatinya ikut serta dalam ACFTA ? ataupun alasan yang rasional dan tidak?.
Negara Indonesia sudah masuk dan terkunci dalam roda perdagangan bebas ASEAN – Cina, sudah bukan waktunya lagi mencari dan menerka – nerka semua yang tidak beralasan itu. Para pelaku ekonomi dan masyarakat harus sudah mulai membiasakan diri dan memaksakan dirinya untuk berjuang dalam upaya mempertahankan perekonomiannya agar tidak tergusur oleh dampak – dampak yang di timbulkan oleh ACFTA tersebut.
Dampak ACFTA terhadap Indonesia, Posisi Strategis Indonesia dalam ACFTA dan Langkah Antisipasi Indonesia dalam ACFTA
·
Dampak ACFTA
terhadap Indonesia
Dengan dibuka
ACFTA pada tahun 2011 di negara Indonesia tidak berjalan tanpa hambatan, tetapi
terjadi pro dan kontra di kalangan para pelaku ekonomi, para ekonom, pelaku
industri dan elite politik.
Dalam proses berlangsungnya ACFTA terjadi beberapa efek atau dampak terhadap kondisi perekonomian di negara Indonesia, dampak tersebut terbagi kepada 2 : dampak positif dan dampak negatif yang di timbulkan.
Dampak positif ACFTA terhadap ekonomi negara Indonesia diantaranya sebagai berikut :
1. Kegiatan ekonomi dalam negeri meningkat
Dengan bermunculannya barang – barang yang baru dari luar produk lokal , membuat suatu persaingan sehat yang memberikan rangsangan ekonomi kepada para pelaku ekonomi lokal untuk bisa berproduksi ebih banyak lagi dalam mengantisipasi ekspansi produk luar.
Dengan bermunculannya barang baru dan jumlah barang yang banyak, membuat tingkat konsumsi seseorang untuk mengkonsumsi barang tersebut semakin meningkat karena adanya komoditas barang dalam skla besar membuat harga barang menurun.
Dalam proses berlangsungnya ACFTA terjadi beberapa efek atau dampak terhadap kondisi perekonomian di negara Indonesia, dampak tersebut terbagi kepada 2 : dampak positif dan dampak negatif yang di timbulkan.
Dampak positif ACFTA terhadap ekonomi negara Indonesia diantaranya sebagai berikut :
1. Kegiatan ekonomi dalam negeri meningkat
Dengan bermunculannya barang – barang yang baru dari luar produk lokal , membuat suatu persaingan sehat yang memberikan rangsangan ekonomi kepada para pelaku ekonomi lokal untuk bisa berproduksi ebih banyak lagi dalam mengantisipasi ekspansi produk luar.
Dengan bermunculannya barang baru dan jumlah barang yang banyak, membuat tingkat konsumsi seseorang untuk mengkonsumsi barang tersebut semakin meningkat karena adanya komoditas barang dalam skla besar membuat harga barang menurun.
·
Kegiatan
produksi akan effisien
Hal ini akan
sangat terjadi karena akan terjadinya kesepakatan suatu harga yang bertujuan
untuk saling menguntungkan diantara negara – negara yang melaksanakan
perdagangan bebas.
·
Ekspor
Meningkat
Adanya ACFTA
memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk melakukan sebanyak – banyak ekspor
barang potensial Indonesia ke seluruh negara anggota ACFTA , karena dengan
pengurangan tarif dan peniadaan tarif memberikan kesempatan untuk mempermudah
masuk barang ke luar negeri.
·
Inventasi
Meningkat
Kebijakan dalam
perdagangan bebas dengan memberikan kemudahan masuknya barang di area negara
ASEAN – Cina, memberikan potensi investasi tinggi untuk para pelaku industri
dari luar untuk berinvestasi dalam negeri, dari investasi itu kita bisa
memeutarnya untuk peningkatan ekspor.
Adapun dampak
negatif ACFTA terhadap Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut :
1. serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri).
Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina ( Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
2. Dengan harga
lebih murahnya barang – barang dari Cina dibandingkan dengan barang – barang
dalam negeri dikhawatirkan akan merebut pasar dalam negeri, karena tidak hanya
konsumen yang akan beralih ke prodk – produk cina tetapi para pedagangnya pun
akan ikut beralih.
3. Apabila
sektor – sektor Industri dalam negeri tidak bisa bersaing dengan produk –
produk dari Cina, dikhawatirkan sektor – sekto industri itu akan mengalami
penurunan produksi atau bahkan sampai gulung tikar dan bisa menyebabkan
terjadinya pengangguran.
4.
Karakterisasi perekonomian Indonesia akan semakin lemah dan tidak mandiri,
karena segalanya akan bergantung kepada impor, dari hal itu jika banyak sektor
ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam
negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan
dari kekuatan ekonomi Indonesia?
5. Jika dalam
negeri sendiri sudah kalah bersaing bagaimana untuk mengahadapi dari produk –
produk luar, inilah yang terjadi setelah kemunculan ACFTA , neraca perdagangan
Indonesia masih dalam kondisi defisit
NERACA PERDAGANGAN
INDONESIA dengan REP.RAKYAT CINA
Periode: 2006 – 2011
INDONESIA dengan REP.RAKYAT CINA
Periode: 2006 – 2011
URAIAN 2006
2007 2008 2009 2010 Trend%) 2006-2010 Jan-Jul Perubahan%) 2011/2010
2010 2011
Total perdagangan 14.980.466,4 18.233.389,8 26.883.672,6 25.501.497,8 36.116.829,3 23,31 19.160.609,7 26.491.198,0 38,26
Migas 4.011.873,8 3.612.035,6 4.148.600,9 3.090.052,2 2.347.861,2 -11,55 1.219.129,0 1.191.321,4 -2,28
Non migas 10.968.592,6 14.621.354,3 22.735.071,7 22.411.445,5 33.768.968,1 30,68 17.941.480,8 25.299.876,6 41,01
Ekspor 8.343.571,3 9.675.512,7 11.636.503,7 11.499.327,3 15.692.611,1 15,44 7.737.026,2 11.678.618,9 50,94
Migas 2.876.961,3 3.011.412,8 3.849.335,3 2.579.242,8 1.611.661,3 -12,31 762.449,2 767.936,5 0,72
Non migas 5.466.610,0 6.664.099,9 7.787.168,4 8.920.084,4 14.080.949,9 24,41 6.974.576,9 10.910.682,4 56,44
Impor 6.636.895,1 8.557.877,1 15.247.168,9 14.002.170,5 20.424.218,2 31,53 11.423.583,6 14.812.579,2 29,67
Migas 1.134.912,5 600.622,7 299.265,6 510.809,4 736.200,0 -9,77 456.679,8 423.384,9 -7,29
Non migas 5.501.982,6 7.957.254,4 14.947.903,3 13.491.361,1 19.688.018,3 36,04 10.966.903,8 14.389.194,2 31,21
Neraca perdagangan 1.706.676,2 1.117.635,6 -3.610.665,2 -2.502.843,2 -4.731.607,1 0,00 -3.686.557,4 -3.133.960,3 -14,99
Migas 1.742.048,8 2.410.790,1 3.550.069,7 2.068.433,4 875.461,3 -14,18 305.769,5 344.551,6 12,68
Non migas -35.372,5 -1.293.154,5 -7.160.734,9 -4.571.276,6 -5.607.068,4 0,00 -3.992.326,9 -3.478.511,8 -12,87
2010 2011
Total perdagangan 14.980.466,4 18.233.389,8 26.883.672,6 25.501.497,8 36.116.829,3 23,31 19.160.609,7 26.491.198,0 38,26
Migas 4.011.873,8 3.612.035,6 4.148.600,9 3.090.052,2 2.347.861,2 -11,55 1.219.129,0 1.191.321,4 -2,28
Non migas 10.968.592,6 14.621.354,3 22.735.071,7 22.411.445,5 33.768.968,1 30,68 17.941.480,8 25.299.876,6 41,01
Ekspor 8.343.571,3 9.675.512,7 11.636.503,7 11.499.327,3 15.692.611,1 15,44 7.737.026,2 11.678.618,9 50,94
Migas 2.876.961,3 3.011.412,8 3.849.335,3 2.579.242,8 1.611.661,3 -12,31 762.449,2 767.936,5 0,72
Non migas 5.466.610,0 6.664.099,9 7.787.168,4 8.920.084,4 14.080.949,9 24,41 6.974.576,9 10.910.682,4 56,44
Impor 6.636.895,1 8.557.877,1 15.247.168,9 14.002.170,5 20.424.218,2 31,53 11.423.583,6 14.812.579,2 29,67
Migas 1.134.912,5 600.622,7 299.265,6 510.809,4 736.200,0 -9,77 456.679,8 423.384,9 -7,29
Non migas 5.501.982,6 7.957.254,4 14.947.903,3 13.491.361,1 19.688.018,3 36,04 10.966.903,8 14.389.194,2 31,21
Neraca perdagangan 1.706.676,2 1.117.635,6 -3.610.665,2 -2.502.843,2 -4.731.607,1 0,00 -3.686.557,4 -3.133.960,3 -14,99
Migas 1.742.048,8 2.410.790,1 3.550.069,7 2.068.433,4 875.461,3 -14,18 305.769,5 344.551,6 12,68
Non migas -35.372,5 -1.293.154,5 -7.160.734,9 -4.571.276,6 -5.607.068,4 0,00 -3.992.326,9 -3.478.511,8 -12,87
Analisis
singkat :
Jika melihat kepada tabel di tasa perdagangan Indonesia setelah munculnya ACFTA mengalami defisit perdagangan terhadap seluruh negara 6 ASEAN dan Cina, kecuali Filiphina dan Malaysia, ini mengindikasikan bahwasanya dengan bergabungnya Indonesia kedalam ACFTA merupakan suatu spekulasi yang salah dalam mengambil regulasi karena membuat kemerosotoan dalam tingkat perdagangan Indonesia.
b. Posisi Strategis Indonesia dalam ACFTA
Dengan masuknya Indonesia ke dalam G-20 yang mempunyai kewenangan untuk mengatur pola arah kebijakan ekonomi di dunia , sebenarnya sangat menguntungkan dalam posisi Indonesia di dalam ACFTA dengan kewenangan yang dmiliki Indonesia, Indonesia bisa membuat suatu arah kebijakan bawah tanah yang bisa menguntungkan perekonomian dalam negeri.
Selain dalam sudut pandang ekonomi, Indonesia merupakan kekuatan yang nyata dari sisi demografis, geografis, dan politis. Profesor Aymeric Chauprade, pakar geopolitik asal Prancis bahkan menilai Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan utama dunia, yang pada gilirannya dapat menjadi penyeimbang politik dunia. Bersama Rusia dan India, Indonesia dapat mencegah terjadinya bipolarisasi yang mungkin terjadi akibat pertentangan yang semakin tajam antara AS dan China. Pendapat Chauprade itu didasarkan pada alasan bahwa di masa mendatang keseimbangan global sangat bergantung kepada hubungan Barat-Islam-China dan Indonesia, yang selalu mengedepankan soft power, memiliki hubungan baik dengan berbagai pihak tersebut.
c. Langkah Antisipasi Indonesia dalam ACFTA
Dalam upaya mensejajarkan diri dan mencoba setingkat lebih di atas negara – negara anggota ACFTA, Indonesia perlu mempunyai strategi elegan dalam mengantisipasi kemungkinan – kemungkinan yang terjadi dari resiko – resiko yang akan muncul dari tergabungnya Indonesia di dalam ACFTA.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi di dalam perekonomian sekarang, perdagangan bebas dalam ACFTA masih belum menguntungkan Indonesia dari segi tingkat perekonomian, barang – barang impor masih mendominasi daripada barang – barang yang di ekspor oleh Indonesia.
Barang – barang produksi dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk – produk yang datang dari luar, notabene masyarakat masih lebih konsumif terhadap barang – barang impor dari Cina dari pada barang – barang produksi sendiri, ini mengindikasikan adanya tingkat kepercayaan dalam konsumen Indonesia yang masih melihat kalau barang – barang impor dari Cina lebih mempunyai kualitas dan harga yang lebih murah di bandingkan dengan barang – barang yang di produksi di dalam negeri.
Jika ini terus terjadi kemungkinan tingkat perekonomian Indonesia akan merosot kedalam keterpurukan karena kita akan cenderung mengandalkan dari biaya masuk barang saja , tidak dari keuntungan yang di ambil dari produksi barang sendiri.
Meskipun secara laju pertumbuhan Indonesia yang di liris oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ) negara Indonesia berada dalam tren positif pertumbuhan perekonomian, akan tetapi imbas dari laju pertumbuhan itu belum bisa di rasakan oleh masyarakat, dengan di buktikan dari tingkat perekonomian masyarakat yang masih rendah.
Dari gejala – gejala yang muncul di atas kiranya perlu suatu langkah inspiratif dan antisipatif oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi guncangan dan gejolak – gejolak ACFTA dalam perekonomian Indonesia.
Langkah inspiratif dan antisipatif tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak dini, ada beberapa langkah yang bisa di jdikan suatu strategi elegan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia di dalam ke tergabungannya dengan ACFTA, diantaranya adalah :
1. meningkatkan daya saing produk dalam negeri yang dilakukan melalui lintas sektoral, pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta organisasi para pengusaha nasional, seperti Kamar dagang dan industri (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia Apindo).
Dengan peran masing – masing memberikan informasi dan solusi , pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengendalikan dan mengatur alur produksi dalam negeri sehingga produksi dapat terdistribusi sesuai dengan line yang menguntungkan kepada produksi barang lokal, organisai pengusaha Indonesia memberikan peran dalam kontribusi dalam pemberian informasi terhadapsektor – sktor industri yang sedang mengalami injury karena persaingan global di dalam ACFTA
Jika melihat kepada tabel di tasa perdagangan Indonesia setelah munculnya ACFTA mengalami defisit perdagangan terhadap seluruh negara 6 ASEAN dan Cina, kecuali Filiphina dan Malaysia, ini mengindikasikan bahwasanya dengan bergabungnya Indonesia kedalam ACFTA merupakan suatu spekulasi yang salah dalam mengambil regulasi karena membuat kemerosotoan dalam tingkat perdagangan Indonesia.
b. Posisi Strategis Indonesia dalam ACFTA
Dengan masuknya Indonesia ke dalam G-20 yang mempunyai kewenangan untuk mengatur pola arah kebijakan ekonomi di dunia , sebenarnya sangat menguntungkan dalam posisi Indonesia di dalam ACFTA dengan kewenangan yang dmiliki Indonesia, Indonesia bisa membuat suatu arah kebijakan bawah tanah yang bisa menguntungkan perekonomian dalam negeri.
Selain dalam sudut pandang ekonomi, Indonesia merupakan kekuatan yang nyata dari sisi demografis, geografis, dan politis. Profesor Aymeric Chauprade, pakar geopolitik asal Prancis bahkan menilai Indonesia dapat menjadi salah satu kekuatan utama dunia, yang pada gilirannya dapat menjadi penyeimbang politik dunia. Bersama Rusia dan India, Indonesia dapat mencegah terjadinya bipolarisasi yang mungkin terjadi akibat pertentangan yang semakin tajam antara AS dan China. Pendapat Chauprade itu didasarkan pada alasan bahwa di masa mendatang keseimbangan global sangat bergantung kepada hubungan Barat-Islam-China dan Indonesia, yang selalu mengedepankan soft power, memiliki hubungan baik dengan berbagai pihak tersebut.
c. Langkah Antisipasi Indonesia dalam ACFTA
Dalam upaya mensejajarkan diri dan mencoba setingkat lebih di atas negara – negara anggota ACFTA, Indonesia perlu mempunyai strategi elegan dalam mengantisipasi kemungkinan – kemungkinan yang terjadi dari resiko – resiko yang akan muncul dari tergabungnya Indonesia di dalam ACFTA.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi di dalam perekonomian sekarang, perdagangan bebas dalam ACFTA masih belum menguntungkan Indonesia dari segi tingkat perekonomian, barang – barang impor masih mendominasi daripada barang – barang yang di ekspor oleh Indonesia.
Barang – barang produksi dalam negeri masih kalah bersaing dengan produk – produk yang datang dari luar, notabene masyarakat masih lebih konsumif terhadap barang – barang impor dari Cina dari pada barang – barang produksi sendiri, ini mengindikasikan adanya tingkat kepercayaan dalam konsumen Indonesia yang masih melihat kalau barang – barang impor dari Cina lebih mempunyai kualitas dan harga yang lebih murah di bandingkan dengan barang – barang yang di produksi di dalam negeri.
Jika ini terus terjadi kemungkinan tingkat perekonomian Indonesia akan merosot kedalam keterpurukan karena kita akan cenderung mengandalkan dari biaya masuk barang saja , tidak dari keuntungan yang di ambil dari produksi barang sendiri.
Meskipun secara laju pertumbuhan Indonesia yang di liris oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ) negara Indonesia berada dalam tren positif pertumbuhan perekonomian, akan tetapi imbas dari laju pertumbuhan itu belum bisa di rasakan oleh masyarakat, dengan di buktikan dari tingkat perekonomian masyarakat yang masih rendah.
Dari gejala – gejala yang muncul di atas kiranya perlu suatu langkah inspiratif dan antisipatif oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi guncangan dan gejolak – gejolak ACFTA dalam perekonomian Indonesia.
Langkah inspiratif dan antisipatif tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak dini, ada beberapa langkah yang bisa di jdikan suatu strategi elegan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia di dalam ke tergabungannya dengan ACFTA, diantaranya adalah :
1. meningkatkan daya saing produk dalam negeri yang dilakukan melalui lintas sektoral, pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta organisasi para pengusaha nasional, seperti Kamar dagang dan industri (Kadin), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia Apindo).
Dengan peran masing – masing memberikan informasi dan solusi , pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengendalikan dan mengatur alur produksi dalam negeri sehingga produksi dapat terdistribusi sesuai dengan line yang menguntungkan kepada produksi barang lokal, organisai pengusaha Indonesia memberikan peran dalam kontribusi dalam pemberian informasi terhadapsektor – sktor industri yang sedang mengalami injury karena persaingan global di dalam ACFTA
2.
memberlakukan pengamanan produk dalam negeri guna menghindari praktek
perdagangan yang tidak adil dan sehat (unfair trade) yakni safeguard.
Hal ini dimaksudkan apabila ada lonjakan impor dan menimbulkan injury terhadap produsen dalam negeri, maka safeguard akan dikenakan kepada semua negara pengimpor produk.
Hal ini dimaksudkan apabila ada lonjakan impor dan menimbulkan injury terhadap produsen dalam negeri, maka safeguard akan dikenakan kepada semua negara pengimpor produk.
3. Melakukan
pendekatan bilateral.
Pendekatan bilateral ini difokuskan pada bagaimana pemerintah China dan Indonesia bisa meningkatkan volume perdagangan yang berimbang serta join production antara Indonesia, China, dan Asean.
Pendekatan bilateral ini difokuskan pada bagaimana pemerintah China dan Indonesia bisa meningkatkan volume perdagangan yang berimbang serta join production antara Indonesia, China, dan Asean.
4. Meningkatkan
dan membangun infrastruktur yang ada dan belum ada, dengan menyeimbangkan
anggaran untuk biaya pembangunan dan pemeliharaan, karena saat ini anggaran
yang dikeluarkan pemerintah Indonesia lebih banyak di alokasikan terhadap
pemeliharaan infrastruktur daripada pembangunan, sangat berbeda jauh dengan
negara ASEAN dan Cina, mereka lebih banyak mengalokasikan anggarannya untuk
pembangunan infrastruktur dalam upaya untuk mempermudah dan memperlancar
perdagangan.
Dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah hal itu bisa memberikan kontribusi besar dalam kelancaraan distribusi produk lokal dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya.
perlunya perbaikan hubungan koordinasi antar departemen dan antar pemerintah pusat dan daerah. Tidak kooperatifnya pemerintah daerah membuktikan tidak berfungsinya line of command. Ini terkait langsung dengan persoalan perijinan, dan persoalan pembebasan tanah yang selama ini menjadi kendala terbesar pembangunan infrastuktur. Tidak jelasnya sistem tata ruang di banyak daerah, apakah tanah tersebut termasuk hutan lindung, hutan tanaman industri, hutan kelapa sawit atau lainnya telah dimanfaatkan oleh oknum aparat hukum untuk mengambil keuntungan dari pengusaha yang berinvestasi, kesimpangsiuran yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi itu harus diatasi.
5. Pemerintah dan pengusaha harus bekerja sama dalam pembangunan dengan melibatkan masyarakat banyak, labor intensive, dan keringanan dalam pajak untuk industri lokal sehingga mereka bisa bersaing dalam harga dengan produk – produk dari Cina yang cenderung lebih murah.
Dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah hal itu bisa memberikan kontribusi besar dalam kelancaraan distribusi produk lokal dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya.
perlunya perbaikan hubungan koordinasi antar departemen dan antar pemerintah pusat dan daerah. Tidak kooperatifnya pemerintah daerah membuktikan tidak berfungsinya line of command. Ini terkait langsung dengan persoalan perijinan, dan persoalan pembebasan tanah yang selama ini menjadi kendala terbesar pembangunan infrastuktur. Tidak jelasnya sistem tata ruang di banyak daerah, apakah tanah tersebut termasuk hutan lindung, hutan tanaman industri, hutan kelapa sawit atau lainnya telah dimanfaatkan oleh oknum aparat hukum untuk mengambil keuntungan dari pengusaha yang berinvestasi, kesimpangsiuran yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi itu harus diatasi.
5. Pemerintah dan pengusaha harus bekerja sama dalam pembangunan dengan melibatkan masyarakat banyak, labor intensive, dan keringanan dalam pajak untuk industri lokal sehingga mereka bisa bersaing dalam harga dengan produk – produk dari Cina yang cenderung lebih murah.
6. Merangsang
para pelaku produksi Indonesia untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
penyediaan barang sebagai daya tarik untuk konsumen, dengan seperti itu produk
atau barang – barang hasil dalam negeri bisa mendapatkan pasar dari masyarakat
sendiri.
7. Membuat
suatu regulasi cerdas dalam menemukan strategi – strategi kreatif untuk
meminimalisir efek dari ACFTA tanpa melanggar ketentuan – ketentuan WTO, antara
lain dengan maksimalisasi SNI di kementerian perdagangan. Maksimalisasi SNI ini
berpotensi kuat membantu mensortir barang yang tidak berkualitas untuk tidak
masuk ke Indonesia.
Dengan adanya SNI ini Indonesia bisa membuat peraturan untuk produk –produk dari luar supaya menggunakan bahasa Inonesia di dalam produknya sehingga meminimalisasi terhadap penipuan.
Dengan adanya SNI ini Indonesia bisa membuat peraturan untuk produk –produk dari luar supaya menggunakan bahasa Inonesia di dalam produknya sehingga meminimalisasi terhadap penipuan.
8. Memaksimalkan
potensi Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia sebagai spesialisasi produk
dalam bersaing dengan produk – produk dari luar, karena kekurangan dari negara
– negara ACFTA adalah kurangnya Sumber Daya Alam yang dimiliki.
9. Indonesia
sudah saatnya untuk merubah perilaku ekspornya yang hanya mengandalkan ekspor
bahan mentah, pengolahan sumber daya alam yang ada menjadi alternatif dalam
mengembangkan dan meningkatkan pendapatan produksi dengan mengandalkan value
added di dalamnya.
10. Harus ada
pengamanan dalam pendistribusian barang yang dihasilkan karena tingkat harga
barang lokal yang dikatakan lebih mahal daripada barang dari luar negeri
disebabkan karena dalam proses pendistribusian barang di dalam negeri masih
sering kali terjadi pungli disetiap pendistribusiannya , sehingga barang dalam
negeri cenderung lebih besar daripada produksi barang dari luar karena untuk
mengganti pembayaran untuk mengganti biaya pungli tersebut.
11. Masyarakat
harus menunjukan jiwa nasionalismenya dengan mengkonsumsi barang nasional,
dengan seperti itu, akan menjadi suatu tumpuan yang sangat menguntungkan untuk
para pelaku produesen lokal dalam eksistensinya bersaing dengan produk dari
luar.
12. Harus mulai
ditanamkannya kekuatan mental jasmani, daya pikir dan spiritual para pelaku
usaha untuk tetap bertahan menghadapi gempuran persaingan global, dengan
perngharapan pada saat terjadi gempuran persaingan global yang membuatnya
tergusur tidak mematahkan semangat mereka tetapi, akan muncul kekuatan
berinovasi untuk ikut bersaing.
Definisi
perdagangan bebas dan kegiatan ekspor impor
Perdagangan
bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System
(HS) dengan
ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor
atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan
sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah)
dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang
berada di negara yang berbeda.
Kegiatan
menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan
membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu
akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing
kenegara kita dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari
luar negeri. Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk
impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang
sudah dapat dihasilkan, tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat.
2.2 Kegiatan
ekspor impor dan penguasaan produk asing di dalam negeri
Berdasarkan
definisi perdagangan bebas dan kegiatan ekspor impor di pembahasan sebelumnya,
kali ini kita kaitkan definisi diatas dengan bukti kegiatan ekspor impor di
Indonesia. Berdasarkan data statistik dari website resmi BPS menyatakan bahwa
pada tahun 2012 ini, Indonesia melakukan ekspor lebih banyak daripada impor.
Jika kita lihat sekilas, tentu kita beranggapan bahwa Indonesia sudah mampu
bersaing dengan negara lain. Tapi tunggu dulu ! Ternyata negara kita ini
melakukan ekspor bahan mentah dan hasil bumi yang belum diolah. Apa yang
terjadi ? Kita mendapatkan barang jadi yang jelas-jelas bahan mentahnya berasal
dari kita sendiri dengan cara mengimpor dari luar dengan harga yang tinggi.
Makannya, negara kita malah dibanjiri dengan produk luar negeri. Berikut kami
sertakan tabel ekspor dan impor dari website resmi BPS Indonesia tahun 2012.
Pemerintah
bersama pelaku usaha dalam wadah Kadin Indonesia selayaknya terus mencari jalan
keluar atas makin membanjirkan importasi sejak dibukanya perdagangan bebas
CAFTA 2010 silam. Seperti yang telah diperkirakan semula, penerapan perjanjian
perdagangan bebas Cina ASEAN Free Trade Agreement/CAFTA) yang bakal
diberlakukan awal 2010 silam, belum membawa keuntungan bagi perekonomian
Indonesia. Ini terjadi dalam beberapa tahun terakhir, tercatat nilai impor
terus melejit. Akankah nasib produk dalam negeri yang kalah bersaing dengan
impor, merupakan bentuk lemahnya dukungan pemerintah atau lemahnya pelaku
usaha? Kekhawatiran membanjirnya produk impor ini diungkapkan sejumlah peneliti
sekaligus pelaku usaha dalam diskusi yang diadakan oleh Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, baru baru ini. Wadah pengusaha yang
mayoritas skala UMKM ini mengkhawatirkan tingginya pertumbuhan impor yang seakan
mengancam eksistensi produk domestik.
Buktinya, data
yang dihimpun lewat Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kinerja impor
Indonesia pada kuartal I-2012 mencapai nilai 45 miliar dolar AS atau melonjak
sekitar 18 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni 38 miliar
dolar AS. Dengan melihat besaran nilai impor tersebut, sektor non migas
(manufaktur) memilik andil cukup besar dalam kinerja impor di Indonesia. Pada
kuartal I-2012 nilai impor manufaktur naik sekitar 16 persen mencapai 35 miliar
dolar AS dibandingkan periode yang sama tahun lalu sekitar 38 miliar dolar
AS.Sedangkan sektor migas, peningkatan impor semakin mendominasi dengan
pertumbuhan mencapai 23 persen atau nilainya sekitar 10 miliar dolar AS.
Menurut Kadin Indonesia,lonjakan impor saat ini berkaitan dengan lemahnya
kebijakan pemerintah. Kesepakatan FTA dinilai tidak sejalan dengan
industrialisasi di Indonesia. Kadin berpendapat industri Indonesia belum siap
dalam melakukan persaingan skala besar. Peneliti dari Lembaga Penilitian,
Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kadin, Ina Primianana menegaskan,
produksi dalam negeri tidak mampu bersaing, karena tidak memiliki
keunggulan.Begitupula,produk yang dihasilkan sebenarnya juga mampu diproduksi
di negara tujuan ekspor. Teknologi terkini belum terserap dengan baik
(pengolahan bahan baku), sehingga produk yang dihasilkan tidak kompetitif.
Disisi lain, Negara pesaing mampu memberikan harga yang kompetitif, sehingga
negara tujuan ekspor beralih ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam
negerinya. Selain itu, banyaknya kesepakatan pemerintah melalui CAFTA dinilai
Ina tanpa persiapan, akibatnya banjirnya barang impor tidak bisa terbendung
lagi. "Kesepakatan CAFTA yang dilakukan pemerintah membuat produk asing
yang masuk ke dalam negeri meilmpah ruah. Pertumbuhan industri juga rapuh
karena masih tergantung oleh tingginya impor bahan baku dan barang modal. Hal
ini berpotensi membuat industri dalam negeri beralih menjadi pedagang,"
ujar dia.
Ketua LP3E
Kadin, Didik J. Rachbani berpendapat total impor meningkat sangat tinggi
menyebabkan surplus perdagangan makin tertekan. Menurutnya, pertumbuhan impor
kuartal I- 2012 dari sisi nilai yang mendominasi sektor manufaktur berasal dari
Inggris dengan kenaikan 52,02 persen. Diikuti dengan Cina bertumbuh 27,34
persen, dan Thailand bertumbuh 20,56 persen.
"Salah
satu yang menarik ialah dimana Thailand pada 2011 lalu terkena bencana banjir,
justru pada kuartal I-2012 ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan
sebesar 11 persen. Dengan derasnya impor Indonesia dari Thailand pada periode
itu, tak mengherankan jika perekonomian Thailand berkilau di awal tahun
ini," tutur Didik. Peniliti LP3E Kadin, Suharyadi menyatakan membanjirnya
impor salah satunya disebabkan
kurangnya
dukungan regulasi industri dengan rantai birokrasi semakin panjang. Hal itu
membuat beban biaya industri domestik semakin meningkat. Menurutnya, potensi
itu memberikan dampak negatif bagi daya saing produksi dalam melawan produk
asing yang masuk ke dalam negeri. "Dalam mengembangkan CAFTA pemerintah
kurang melakukan optimalisasi. Ditambah dengan birokrasi yang berbelit-belit,
membuat daya saing industri dalam negeri semakin terpuruk. Produk dalam negeri
semakin tidak kompetetif dengan produk asing yang masuk ke Indonesia,"
ungkap dia.
Lemahnya
kebijakan pemerintah, serta buruknya industri dalam negeri dituding membuat
produk nasional tidak memiliki daya saing. Selain itu, dengan kondisi sekarang
menjadikan ketergantungan dengan negara lain semakin menjadi. Wajar saja, hingga
saat ini ketergantungan akan produk impor terus berlanjut dan menggerus
industri domestik.
2.3 Lemahnya
industri dalam negeri
Selalu kita
lihat selama ini produk-produk dalam negeri kalah saing dengan produk luar
negeri. Telah terpatri anggapan di maysarakat bahwa produk lokal tidak lebih
baik daripada produk asing; kita ambil saja contoh produk elektronik. Indonesia
memiliki produsen barang elektronik sebut saja Polytron. Fitur yang ditawarkan
tidak jauh berbeda dengan produk asing di kelasnya. Keperkasaan produk asing
lagi-lagi menyebabkan produk kita kalah saing di pasaran. Branding produk asing
yang terlanjur menancap dengan mantap di hati masyarakat, membuat konsumen
lokal tentunya lebih memilih produk asing tersebut. Akan lebih parah lagi bila kita
bandingkan dengan produk Cina yang menawarkan harga yang sangat murah dengan
kualitas rendah. Kondisi ekonomi masyarakat yang pas-pasan tampaknya telah
dimanfaatkan produsen asing untuk "membanjiri" Indonesia dengan
produk mereka.
Peniliti LP3E
Kadin, Suharyadi menyatakan membanjirnya impor salah satunya disebabkan
kurangnya dukungan regulasi industri dengan rantai birokrasi semakin panjang.
Hal itu membuat beban biaya industri domestik semakin meningkat. Menurutnya,
potensi itu memberikan dampak negatif bagi daya saing produksi dalam melawan
produk asing yang masuk ke dalam negeri. Bila kita telusur lebih jauh,
sebenarnya pertumbuhan industri Indonesia justru menunjukkan tren yang positif.
Banyak industri yang mulai bergeliat. Akan tetapi tampaknya kita tidak bisa
senang dahulu, karena di balik itu semua banyak rintangan yang industri kita
hadapi. Lebih jauh dari itu, industri kita hanya berperan seperti boneka.
Sebagian besar industri kita hanya bergerak atau memiliki fasilitas proses
hilir. Kegiatan industri kita harus merasa puas hanya bergerak sebagai pelaku
assembly line. Komponen-komponen beserta teknologi assembly line diimpor dari
luar. Contoh Lebih parahnya kita hanya menjalankan sistem industri yang telah
dibuat produsen raksasa asing di pasar potensial milik kita yang tentunya kita
cukup menikmati income beberapa persen saja dan sisanya lari ke negeri asalnya.
Contoh gamblangnya yaitu industri otomotif kita yang sudah berusia 40 tahun
sekarang hanya berkecimpung di sektor perakitan komponen. Jangankan komponen,
alat perkakas yang dibutuhkan dalam proses produksi pun hampir semuanya berasal
dari luar. Padahal ada produsen alat perkakas yang mampu menanganinya.
Kita tidak
patut juga berbangga akan tingginya nilai ekspor kita. Indonesia dikenal dengan
penghasil bahan baku, bahan mentah, bahan tambang, minyak, komoditi pertanian,
komoditi perkebunan, dan komoditi laut nomer satu di dunia. Ironisnya tidak
sedikit barang jadi yang kita impor dari luar negeri berasal dari bahan baku
kita yang kita ekspor. Masih lebih baik kita menguasai barang mentah dan
mengekspornya daripada yang terjadi sebenarnya yaitu bahan mentah kita, minyak
dan emasnya misalnya, kini justru dikuasai asing. Tentu saja pajak yang
kita dapat
sangat jauh lebih kecil bila dibanding dengan pemasukan hasil penjualan barang
tambang hasil olahan. Kita selama ini masih sangat tergantung dengan ekspor
barang mentah dan utang luar negeri sebagai pendapatan negara. Dan disaat
terjadi krisis barang produk dalam negeri, impor produk asing yang murah
menjadi pintu keluarnya. Memang di era perdagangan bebas ini, "skenario
yang tersedia" bagi negara berkembang seperti Indonesia yaitu
a)mengeksploitasi
sumberdaya alam dan/atau hasil bumi yang menghasilkan komoditi yang dapat
dijual di pasar internasional untuk memperoleh devisa guna membeli masukan
teknologi;
b)mengundang
investasi dari negara yang lebih maju dalam berindustri dan berteknologi untuk
meningkatkan pertumbuhan industrinya dan, secara sadar atau tidak sadar,
sekaligus menjadikannya sebagai sarana bagi terjadinya alih teknologi;
c)Melakukan
upaya untuk dapat memperoleh dana valuta asing yang diperlukan untuk membeli
teknologi melalui hutang luar negeri, bilamana perimbangan import dan
exportnya, atau kekayaan sumberdaya alamnya serta tatanan politik ekonominya
dapat ditunjukkan mampu menjamin pembayaran cicilan dan bunganya;
d)Menyisihkan
sebagian dari pendapatannya untuk secara bertahap meningkatkan kemampuannya
dalam mengembangkan teknologi, sehinggap dapat makin menekan tuntutan yang terlalu
besar akan pembelian teknologi dari negara lain;
e)Meningkatkan
kemampuannya di dalam mengelola proses alih teknologi dengan sebaik- baiknya,
terutama di dalam hal melakukan pemilihan yang tepat terhadap pembelian dan
pengalihan
teknologi, agar diperoleh proses alih teknologi yang paling Ć¢ cost effectiveĆ¢ .
Banyak orang mengira bahwa penguasaan iptek yang rendah menjadi salah satu
penyebab kurang
berkembangnya industri kita. Padahal teknologi tidak ada ubahnya dengan produk
yang diperjualbelikan. Teknologi bisa dibeli. Apalagi sudah banyak perguruan
tinggi, institut dan politeknik yang menjadi sumber keilmuan dan teknologi di
Indonesia. Jika dibilang spesifikasi produk kita tidak memenuhi standar dan
permintaan dasar, hal ini tidak rasional; teknologi produksi dan manufaktur
kita telah menguasainya, meskipun perannya masih sangat terbatas (atau
dibatasi). Sekarang tinggal permasalahan non teknis sebenarnya yang menjadi
kendala. Salah satu kendala non teknis yang dimaksud adalah masih rendahnya
akses pemasaran, akses informasi, dan belum terbukanya kesempatan bagi produsen
dalam negeri untuk menangani pemenuhan demand dari konsumen. Selain itu, masih
maraknya pungutan liar, korupsi, kolusi, nepotisme, rumitnya birokrasi
pemerintahan, masalah perpajakan, masalah perburuhan, lemahnya infrastruktur,
dan belum terciptanya iklim usaha yang kondusif dan bersahabat bagi para pelaku
usaha telah mengakibatkan industri dalam negeri kehilangan daya saingnya.
Kamar Dagang
Industri (Kadin) menuding lemahnya pengawasan di bea cukai menjadi penyebab
utama deindustrialisasi di Indonesia. Praktek kecurangan di bea cukai sudah
terjadi sejak dulu. Praktis hal ini melemahkan industri dalam negeri. Di satu
sisi, produk asing bebas masuk tanpa dibebani kewajiban pajak dan dapat menjualnya
dengan murah. Di lain sisi, mobilisasi produk dalam negeri sering terhambat
dengan beban kewajiban pungutan yang harus dipenuhi. Maraknya barang selundupan
juga tambah memperparah deindustrialisasi dalam negeri. Dalam hal ini tampaknya
terobosan-terobosan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam memberantas KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme), menjadi angin segar bagi industri dalam
negeri. Kebijakan memihak yang mengandung unsur KKN dapat ditekan. Ada harapan
industri dalam negeri dapat bersaing dalam iklim usaha yang kondusif dan adil.
Tender-tender tidak melulu dimenangkan perusahaan asing. Sudah saatnya ada
regulasi dan kebijakan pemerintah yang benar-benar melindungi industri dalam
negeri. Walaupun di zaman perdagangan bebas ini, pemerintah tidak bisa lagi
bermain-main pajak untuk menghambat produk asing masuk ke dalam negeri,
setidaknya ada regulasi yang mendorong terciptanya iklim usaha yang baik dan
kondusif, bukan lagi monopoli asing.
Akhir-akhir ini
marak program pemerintah yang merangsang pertumbuhan industri dalam negeri,
UMKM. Hebatnya program ini menjangkau industri rumahan, kecil dan menengah.
Memang, kuat tidaknya ekonomi suatu negara tidak bisa dinilai dari industri
besar yang bercokol secara nasional, tetapi hanya bisa dinilai dari kekuatan
industri kemasyarakatan yang menjadi tulang punggung pendapatan rakyat. Kalau
sudah begini, perekonomian masyarakat akan kokoh walau dihantam krisis ekonomi
dunia sekalipun. Program UMKM mandiri ini tentunya harus digarap dengan serius
dan pengawasan serta pembimbingan yang berkelanjutan supaya industri lokal
dapat tumbuh dan berkembang dengan subur. Tidak hanya sampai di situ,
pemerintah tampaknya mulai membidik mahasiswa sebagai calon pelaku industri
yang segar dan kreatif. Diharapkan kita tidak hanya menjadi pemain produksi
hilir, tapi menjadi produsen industri kreatif dan pemain hulu yang setidaknya
bisa menguasai pasar milik kita sendiri. Memberantas halangan non teknis juga
menjadi pekerjaan rumah yang patut diprioritaskan oleh pemerintah. Kekuatan
produk tidak lepas juga dari kekuatan branding suatu merek. Propaganda dan
kampanye cinta produk Indonesia juga sedikit demi sedikit mengguggah kesadaran
masyarakat akan potensi terpendam dari produk dalam negeri entah itu potensi
produksi, manufaktur, maupun potensi pertumbuhan ekonomi bila tren produk dalam
negeri melonjak. Sudah saatnya kita tidak lagi menjadi penonton, tapi menjadi
pemain dalam dunia industri menuju Indonesia yang mandiri.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
• Perdagangan internasional memang dibutuhkan oleh setiap negara karena dengan melakukan perdagangan internasional yang berbentuk ekspor – impor bisa meningkatkan pendapatan suatu negara.
• ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas dalam menghadapi dan bertahan dalam persaingan global yang mempunyai konsekuensi dualisme, mempunyai efek/dampak yang menguntungkan dalam meningkatkan pendapatan suatu negara, sehingga bisa membuat suatu ketahanan ekonomi dalam negaranya dan memperbaiki tingkat perekonomian rakyatnya dan ACFTA ini juga mempunyai dampak yang mengancam suatu perekonomian suatu negara apabila negara tersebut tidak mampu bersaing dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya, bisa membuat suatu negara tersebut terjungkal dan mengalami kerugian karena tidak bisa bertahan dalam persaingan.
• Pasar yang dimiliki Cina merupakan peluang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan potensi ekspor.
• Negara ASEAN ( Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina dan Singapura) yang tergabung dalam ACFTA ini mempunyai kesempatan emas untuk bisa meraih keuntungan dari ACFTA ini dengan memanfaatkan pasar yang dimiliki Cina, yang sedang meningkat pesat dalam kancah perdagangan internasional.
• Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sumber daya alam yang sangat besar, sedangkan anggota ACFTA lainnya tidak memiliki potensi sumber daya alam seperti halnya Indonesia. Potensi sumber daya alam inilah yang menjadi spesialisasi Indonesia untuk menguasai region ACFTA.
• ACFTA adalah kesempatan “emas” untuk Indonesia, dengan adanya ACFTA ini Indonesia bisa mengekspor lebih banyak lagi barang – barangnya ke luar negara – negara ACFTA tersebut tanpa ada biaya yang mengikat.
• Dari segi
prilaku produsen, dengan adanya ACFTA bisa dijadikan sebagai pembelajaran dalam
melihat pasar dan menguatkan mentalitas dalam persaingan global.
• Adanya ACFTA membuka lebar para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga bisa dimanfaatkan untuk membuat lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
• Adanya ACFTA akan menaikan tingkat konsumsi dalam negeri.
• Adanya ACFTA membuka lebar para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga bisa dimanfaatkan untuk membuat lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
• Adanya ACFTA akan menaikan tingkat konsumsi dalam negeri.
Saran :
• Dalam kondisi
rill produk barang dalam negeri Indonesia kalah bersaing dengan produk dari
Cina yang mempunyai kelebihan dalam kualitas dan harga yang lebih murah,
kepercayaan masyarakat terhadap barang lokal sangat rendah sehingga membuat
barang dalam negeri kalah bersaing dengan barang dari luar.
Dampak – dampak negatif itu seharusnya tidak akan terjadi jika pemerintah Indonesia bisa mengaplikasikan langkah – langkah antisipatifnya, jika itu terlaksana dampak – dampak negatif ACFTA akan berbalik 3600 menjadi dampak positif.
• Strategi – strategi ekonomi yang elegan dan cerdas yang di miliki Indonesia seperti tindakan kerjasama yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah dengan para pengusaha, dalam memberikan keringanan pajak kepada para pelaku usaha lokal dan merangsang mereka untuk berpikir kreatif dalam menciptakan produk lokal yang berkualitas akan menjadi formula dalam menghadapi perdagangan bebas ini.
• Ditambah dengan perbaikan infrastruktur dan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menjadi alternative untuk meningkatkan daya saing dalam ACFTA.
• Peran pemerintah adalah paling vital dalam menolong para produsen lokal untuk/agar bisa bersaing dengan produsen dari luar, adanya regulasi SNI yang di keluarkan oleh kemendag merupakan langkah tepat dalam memilah barang dari luar yang akan masuk ke Indonesia, meskipun barang dari luar tersebut sangat banyak tetapi akan berkualitas.
• Langkah – langkah Antisipasi dan posisi strategis Indonesia dalam G-20 harus dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dalam ACFTA.
• Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatanindustri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industrimanufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan,serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadapMarket Domestic Obligation (MDO).
• UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringananterhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
• Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal untuk berbagai sektor infrastruktur.
Dampak – dampak negatif itu seharusnya tidak akan terjadi jika pemerintah Indonesia bisa mengaplikasikan langkah – langkah antisipatifnya, jika itu terlaksana dampak – dampak negatif ACFTA akan berbalik 3600 menjadi dampak positif.
• Strategi – strategi ekonomi yang elegan dan cerdas yang di miliki Indonesia seperti tindakan kerjasama yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah dengan para pengusaha, dalam memberikan keringanan pajak kepada para pelaku usaha lokal dan merangsang mereka untuk berpikir kreatif dalam menciptakan produk lokal yang berkualitas akan menjadi formula dalam menghadapi perdagangan bebas ini.
• Ditambah dengan perbaikan infrastruktur dan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menjadi alternative untuk meningkatkan daya saing dalam ACFTA.
• Peran pemerintah adalah paling vital dalam menolong para produsen lokal untuk/agar bisa bersaing dengan produsen dari luar, adanya regulasi SNI yang di keluarkan oleh kemendag merupakan langkah tepat dalam memilah barang dari luar yang akan masuk ke Indonesia, meskipun barang dari luar tersebut sangat banyak tetapi akan berkualitas.
• Langkah – langkah Antisipasi dan posisi strategis Indonesia dalam G-20 harus dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dalam ACFTA.
• Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatanindustri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industrimanufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan,serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadapMarket Domestic Obligation (MDO).
• UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringananterhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
• Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal untuk berbagai sektor infrastruktur.
E. PENUTUP DAN DAFTAR PUSTAKA
Penutup
Demikian paparan penjelasan mengenai Indonesia dalam ACFTA melalui makalah ini, semoga semua yang dijelaskan dalam makalah ini menjadi suatu tambahan referensi untuk materi mengenai ACFTA , semoga semua yang ditulis dalam penyusunan makalah ini bisa memberikan suatu manfaat kepada penulis dan kepada pembaca.
mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan pemaparan. Terima kasih
Demikian paparan penjelasan mengenai Indonesia dalam ACFTA melalui makalah ini, semoga semua yang dijelaskan dalam makalah ini menjadi suatu tambahan referensi untuk materi mengenai ACFTA , semoga semua yang ditulis dalam penyusunan makalah ini bisa memberikan suatu manfaat kepada penulis dan kepada pembaca.
mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan pemaparan. Terima kasih
Daftar Pustaka
Heng Mung Kei, 2005. ASEAN – Cina Relations : Realities and Prospect, Pasir Panjang, Singapura, ISEAS Publications
Sumber Referensi :
http://www.scribd.com
http://asagenerasiku.blogspot.com/2012/03/kegiatan-ekspor-impor-indonesia.htmlHeng Mung Kei, 2005. ASEAN – Cina Relations : Realities and Prospect, Pasir Panjang, Singapura, ISEAS Publications
Sumber Referensi :
http://www.scribd.com