Kamis, 06 November 2014

Bahasa Indonesia 2 - REMUNERASI



PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Remunerasi
Remunerasi merupakan kata serapan dari kata bahasa Inggris remunerate yang menurut Oxford American Dictionaries berarti pay (someone) for services rendered or work done. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia kata remunerasi diartikan sebagai pemberian hadiah (penghargaan atas jasa dsb), imbalan. Remunerasi mempunyai pengertian berupa “sesuatu” yang diterima pegawai sebagai imbalan dari kontribusi yang telah diberikannya kepada organisasi tempat bekerja. Remunerasi mempunyai makna lebih luas daripada gaji,karena mencakup semua bentuk imbalan, baik yang berbentuk uang maupun barang, diberikan secara langsung maupun tidak langsung, dan yang bersifat rutin maupun tidak rutin. Imbalan langsung terdiri dari gaji/upah, tunjangan jabatan,tunjangan khusus,bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja dan kinerja organisasi, intensif sebagai penghargaan prestasi, dan berbagai jenis bantuan yang diberikan secara rutin. Imbalan tidak langsung terdiri dari fasilitas, kesehatan, dana pensiun ,gaji selama cuti santunan musibah, dan sebagainya (Surya,2004).
            Remunerasi pada dasarnya merupakan alat untuk mewujudkan visi dan misi organisasi dengan tujuan menarik pegawai yang cakap dan berpengalaman, mempertahankan pegawai yang berkualitas, memotivasi pegawai untuk bekerja dengan efektif,memotivasi terbentuknya perilaku yang positif, dan menjadi alat untuk mengendalikan pengeluaran.
Remunerasi bisa juga dikatakan sebagai pemberian tunjangan yang disesuaikan dengan tingkat pekerjaan yang ada di satu institusi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja pegawai negeri sipil (PNS).  Pemberian remunerasi itu bervariasi bergantung pada tingkat kesulitan dan tanggung jawab pekerjaan masing-masing individu.
Ada lima prinsip yang akan diterapkan dalam reformasi sistem remunerasi yaitu:
1.      Sistem merit, yaitu penetapan penghasilan PNS berdasarkan harga jabatan;
2.      Adil, dalam arti jabatan dengan beban tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan bobot yang sama dibayar sama dan pekerjaan yang menuntut pengetahuan, keterampilan serta tanggung jawab yang lebih tinggi, dibayar lebih tinggi;
3.      Layak, yaitu dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (bukan minimal);
4.      Kompetitif, di mana gaji PNS setara dengan gaji pegawai dengan kualifikasi yang sama di sektor swasta, guna menghindari brain drain;
5.      Transparan, dalam arti PNS hanya memperoleh gaji dan tunjangan resmi.
Sedangkan struktur remunerasi terdiri atas tujuh komponen yaitu:
1.      Gaji, tidak lagi memakai istilah gaji pokok, di mana gaji ditetapkan dengan memperhatikan peranan masing-masing PNS dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan;
2.      Tunjangan biaya hidup (kemahalan), yang terdiri atas tunjangan pangan, perumahan, dan transpor;
3.      Tunjangan kinerja (insentif), berupa tunjangan prestasi yang diberikan pada akhir tahun;
4.      Tunjangan hari raya, yang besarnya sama dengan gaji dan diberikan sekali dalam satu tahun;
5.      Tunjangan kompensasi yang diberikan kepada PNS yang bertugas di daerah terpencil, daerah rawan konflik, dan di daerah dengan lingkungan yang tidak nyaman, berbahaya atau berisiko tinggi;
6.      Iuran bagi pemeliharaan kesehatan PNS dan keluarganya dan diberikan minimal sama dengan yang dibayar oleh PNS;
Iuran dana pensiun dan tunjangan hari tua (THT) dengan jumlah yang minimal sama dengan yang dibayar oleh PNS.
1.2 Latar belakang kebijakan Remunerasi
Remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dilatar belakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance.
Namun pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak dari pegawai yang mengawakinya. Perubahan dan pembaharuan tersebut. dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk. Antara lain ditandai oleh indikator:
    • Buruknya kualitas pelayanan publik (lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta dilayani atau feodal style, dsb.)
    • Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
    • Rendahnya kualitas disiplin dan etos kerja aparatur negara.
    • Kuaiitas.manajemen pemerintahan yang tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien.
    • Kualitas pelayanan publik yang tidak akuntabel dan tidak transparan.
1.3   Maksud dan tujuan kebijakan Remunerasi

Para aparatur negara adalah bagian dari Pemerintahan. Maka dalam konteks Reformasi birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk menata dan meningkatkan kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan yang sangat elementer, mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi perubahan kultur pegawai (Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan struktur gaji yang baru (nanti), setiap pegawai diharapkan akan mempunyai daya tangkal (imunitas) yang maksimal terhadap rayuan atau iming-iming materi (kolusi).

1.4   Siapa saja yang mendapatkan Remunerasi

Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahun 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :
·         Prioritas pertama adalah seluruh Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan Negara, rumpun Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban Aparatur Negara.
·         Prioritas kedua adalah Kementrian/Lembaga yang terkait dg kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda.
·         Prioritas ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua.
1.5       Landasan Hukum Kebijakan Remunerasi.
    • UU No 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
    • UU No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok kepegawaian. Yang salah satu substansinya menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil & layak sesuai dengan beban pekerjaan & tanggung jawabnya. ( Psl 7, UU No.43/1999)
    • Undang-undang No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025. Khususnya pada Bab IV butir 1.2, huruf E. Yang menyatakan bahwa : “Pembangunan Aparatur Negara dilakukan melalui Reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan tata pemerintahan yanq baik. Di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan dibidang bidang lainnya. “.
    • Perpres No.7/2005, tentang Rencana pembangunan jangka menengah Nasional.
    • Konvensi ILO No. 100;, Diratifikasi pd th 1999, bunyinya ‘Equal remuneration for jobs of equal value’ (Pekerjaan yang sama nilai atau bobotnya harus mendapat imbalan yang sama).
1.6    Mengapa Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi Birokrasi
Remunerasi bermakna sangat strategis terhadap suksesnya Reformasi birokrasi, mengingat dampak paling signifikan terhadap kinerja lembaga akan sanga ditentukan oleh perubahan kultur birokrasi didalam melaksanakan tugas pokoknya. Sedangkan keberhasilan merubah kultur tersebut. akan sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan anggotanya.
Namun tanpa iming-iming Remunerasi, sesungguhnya Reformasi birokrasi sudah dilaksanakan sejak tahun 2002 yang lalu. Yaitu dengan mencanangkan dan melaksanakan beberapa perubahan dan pembaharuan dibidang instrumental, bidang struktural dan bidang kultural pegawai.
1.8   Sistem Remunerasi
                        Prinsip dasar sistem remunerasi yang efektif mencakup prinsip individual equity atau keadilan individual, dalam arti apa yang diterima oleh pegawai harus setara dengan apa yang diberikan oleh pegawai terhadap organisasi, internal equity atau keadilan internal dalam arti adanya keadilan antara bobot pekerjaan dan imbalan yang diterima, dan external equity atau keadilan eksternal dalam arti keadilan imbalan yang diterima pegawai dalam organisasinya dibandingkan dengan organisasi lain yang memiliki kesetaraan (Surya,2004).
            Sistem remunerasi atau pengupahan dirumah sakit pada umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1.      Basic Salary
Yaitu dalam bentuk gaji bulanan yang sifatnya biaya tetap atau fixed cost, yang tidak tergantung kepada produk yang dihasilkan, besar atau kecil produk tidak berpengaruh kepada besarnya biaya yang dikeluarkan. Dasar yang digunakan untuk menentukan basic salary  adalah pangkat , golongan , tingkat pendidikan, lama kerja, jabatan dan sebagainya. Tujuan dari basic salary adalah untuk keamanan (safety) artinya sebatas memenuhi kebutuhan dasar seseorang karyawan saja.
2.      Incentive
Adalah tambahan pendapatan yang sangat bergatung kepada produk yang dihasilkan, semakin besar produk semakin besar intensif. Dasar yang digunakan bermacam-macam misalnya berdasarkan kinerja karyawan, atau berdasarkan posisi karyawan. Pada umumnya di rumah sakit, dokter spesialis berdasarkan berapa besar tarif jasa pelayanan medik yang melekat kedalam tarif pelayanan medik. Sedangkan paramedik dan tenaga struktural berdasarkan indexing atau scoring. Tujuannya adalah untuk merangsang kinerja dan motivasi karyawan (motivation).
3.      Merit
Adalah penghargaan dari organisasi bagi karyawan yang berprestasi, biasanya diberikan pada akhir tahun, atau penghargan kepada seluruh karyawan dalam bentuk THR. Dasarnya adlah profit margin tujuannnya adalah untuk memberikan penghargaan kepada karyawan yang berprestasi atau kesejahteraan karyawan (reward).

Contoh kasus Remunerasi dan Kesimpulan
Kasus Gayus Tambunan yang diprasangkakan terlibat dalam praktik mafia pajak mengejutkan publik. Gayus, seorang pegawai negeri sipil (PNS) golongan III yang baru sembilan tahun menjadi abdi negara, memiliki rekening dan kekayaan yang luar biasa (hingga sekitar Rp 24 miliar) yang diduga dari hasil penggelapan pajak.
Kasus Gayus memunculkan resistensi sosial di tengah masyarakat. Masyarakat menjadi geram karena di institusi yang dikenal dengan pilot project remunerasi itu, yakni di Kementerian Keuangan khususnya di Ditjen Pajak, meski gaji PNS tergolong tinggi, praktik korupsi tetap merajalela.
Ditengarai oleh publik, masih banyak personal atau “oknum” secara kolektif yang berperilaku seperti Gayus. Karena itu, muncul gerakan resistensi sosial melalui penggalangan opini media untuk memboikot pajak. Meski gerakan tersebut dianggap sebagai sikap reaksioner, namun memiliki visi untuk mengembalikan mandat pajak pada substansi yang sebenarnya.
Kasus “memalukan” bagi bangsa ini, setelah skandal Century, membuka tabir dan fakta sosial baru yang tidak terbantahkan. Bahwa korupsi telah menjadi budaya dan merasuki seluruh sistem tata kelola pemerintahan, termasuk di institusi yang dianggap memiliki “kuasa” untuk mengelola keuangan negara dan memiliki otoritas kekuasaan yang besar.
Telah enam tahun sistem penghargaan prestasi kerja atau remunerasi dipraktikkan di jajaran PNS di kalangan Kementerian Keuangan. Remunerasi dianggap sebagai simbol reformasi birokrasi. Namun kenyataannya, remunerasi membuka fakta bahwa standar gaji dan penghasilan legal yang tinggi tidak menyurutkan praktik korupsi. Justru korupsi terkesan makin menggurita karena standar gaji yang tinggi. Para pelaku korupsi yang terbiasa melakukan praktik korupsi dalam hitungan angka yang kecil, karena penghasilan legalnya meningkat, maka akan cenderung melakukan praktik korupsi dengan nominal yang lebih besar.
Sistem remunerasi sendiri telah menguras dana APBN mencapai triliunan rupiah dan ternyata gagal menjadi alat peredam korupsi. Banyak pihak menduga, sosok simbolik korupsi semacam Gayus jumlahnya tidak saja segelintir orang, namun bisa ratusan orang yang memiliki posisi, wewenang, dan kesempatan.
Sistem remunerasi kini berada dalam titik nadir apabila dipraktikkan di lingkungan birokrasi kekuasaan yang puluhan tahun berwatak korup. Tanpa revolusi ideologi-sistem-personal birokrasi pemerintahan, remunerasi akan makin terbenam ke dalam kegagalan. Sistem remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan semula dianggap sebagai percontohan peningkatan etos kerja PNS dan aparatur negara-meski secara filosofis sistem ini bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Sistem remunerasi dengan menggelontorkan dana masyarakat lewat APBN menyalahi nilai keadilan, serta persamaan peran dan fungsi. Substansinya boleh dikatakan sebagai bentuk diskriminasi karena alasan-alasan tertentu.
Pertama, diskriminasi peran dan fungsi. Remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan dianggap akan mencegah korupsi dan sebagai “balas jasa” atas standar kerja jajaran aparatur instansi terkait. Selama ini dalam logika pemegang “kuasa”, remunerasi disimbolkan bahwa para aparatur negara di sektor keuangan dianggap bekerja paling keras dan memiliki fungsi yang paling penting bagi negara. Sebab, mereka adalah pengumpul dana untuk pemasukan APBN sehingga perlu dihargai secara layak.
Hal ini jelas mendiskriminasi dari eksistensi dan fungsi abdi negara yang lain. Termasuk para prajurit dan PNS yang sesungguhnya juga berjasa dan berfungsi menyelamatkan negara dalam beban kerjanya. Lihatlah, gaji prajurit TNI yang bekerja di perbatasan dan bertugas menjaga integritas wilayah yang rata-rata standar penghasilannya hanya Rp 3,5 juta per bulan. Demikian pula para PNS yang bekerja di menara-menara mercusuar yang digaji minimal. Para PNS di lingkungan pemerintah daerah juga bekerja dengan beban waktu yang meningkat pada era otonomi daerah. Mengapa yang menjadi pahlawan adalah mereka yang bekerja sebagai “pengumpul upeti”?
Kedua, diskriminasi hak-hak masyarakat pembayar pajak. Telah diketahui secara luas oleh publik, sumber pemasukan APBN setiap tahunnya 70% berasal dari sektor pajak, namun 60% dialokasikan untuk belanja pegawai. Adanya sistem remunerasi menjadi beban bagi APBN karena alokasi pengeluaran makin besar. Karena itu, penambahan alokasi untuk belanja modal pembangunan makin berkurang. Lantas, dalam konteks demikian, sebuah pertanyaan muncul, apakah yang diberikan negara kepada para masyarakat pembayar pajak? Logika Menteri Keuangan, selama ini alokasi untuk subsidi sosial menjadi beban bagi negara sehingga perlu dieliminasi. Yang namanya negara harus lepas dari beban anggaran subsidi sosial.
Ketiga, remunerasi melanggar martabat masyarakat marginal yang selama ini menjadi beban pajak. Sebanyak 150 juta pekerja di Indonesia digaji dengan standar upah murah oleh perusahaan karena biaya produksi terserap oleh beban pajak yang makin tinggi. Upah buruh yang rendah sebagai implikasi dari dikonversinya biaya produksi yang salah satunya adalah pajak. Mereka, para pekerja, sesungguhnya membayar pajak dari tetesan keringat dan secara formal dari standar gaji legal mereka. Begitu juga para petani, mendapat beban pajak berbagai jenis. Hal ini menunjukkan remunerasi melanggar prinsip kerakyatan.
Standar gaji para aparatur negara di jajaran Kementerian Keuangan selama ini memunculkan kecemburuan meluas di kalangan masyarakat dan abdi negara yang lain. Banyak kasak-kusuk yang selalu menjadi perbincangan publik. “Pegawai pajak dan bea cukai sebenarnya kerjanya lebih banyak bersifat teknis-administratif, namun standar gaji mereka lebih besar dibanding abdi negara yang memainkan fungsi sosial.”
Melihat realitas demikian, saat ini perlu dikaji ulang sistem remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan. Sebab, korupsi menjadi bukti kegagalan reformasi birokrasi. Yang dibutuhkan adalah kenaikan standar gaji PNS sesuai prinsip kelayakan dan kepatutan publik.
Alangkah ironisnya, seorang Gayus yang golongan III A standar gajinya mencapai angka Rp 12 juta per bulan. Sementara gaji prajurit rata-rata hanya Rp 2 juta per bulan. Apalagi dibanding pekerja sektor industri yang hanya rata-rata UMK (upah minimum kabupaten)-nya Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta per bulan.

                                                            Saran
Logika yang dipakai sebagai dasar pemberian renumerasi PNS di Kemenkeu itu yang perlu dipertanyakan. Kalau alasannya karena PNS yang bekerja disana itu yang mengurusi keluar-masuknya uang negara serta mengepulnya dari berbagai sumber sehingga wajar mereka di gaji besar, jelas kurang fair dong. Kalau itu alasannya, maka seorang PNS yang bekerja di Kementerian ESDM, harusnya diberi renumenrasi besar karena jasanya mengurusi kekayaan alam negara. Begitu pula yang PNS di Kementerian Perhutanan, wajar mereka dikasih renumerasi besar pula, sebab hasil hutan itu tak sedikit menyumbang uang ke negara.
Halnya guru dan Dosen yang PNS, juga harus diberi renumerasi besar karena akibat jasa-jasa mereka, penduduk di negeri ini menjadi pintar-pintar sehingga bisa menjadi anggota DPR, Menteri dan Jenderal. Juga para prajurit TNI dan POLRI itu, seharusnya dikasih renumerasi yang besar, sebab tanpa mereka pastilah keamanan dan ketertiban negara akan kacau balau, yang menyebabkan semua penduduk tidak akan bisa lancar bekerja dan mencari rezekinya.

Daftar Pustaka :


Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia Edisi 2. 1987. Yogyakarta. Penerbit: BPFE-YOGYAKARTA
http://sir.stikom,edu/164/5/BAB II.pdf diunduh pada Rabu,05 November 2015 pukul 21.11