Jumat, 20 Juni 2014

Tugas Individu Softskill



Resume Kasus Pembobolan Dana Nasabah Citibank
Kasus pembobolan dana nasbah Citibank senilai Rp40 miliar oleh Inong Malinda alias Malinda Dee yang menjabat Relationship Manager Citigold di bank tersebut merupakan salah satu kasus hukum paling banyak menyita perhatian masyarakat di tahun 2011. Selain nilai kejahatannya yang cukup fantastis, kasus ini merembet ke masalah privat karena gaya hidup mewah Malinda bersama suaminya Andhika Gumilang. Tengok saja koleksi mobil mewahnya seperti Hummer, Mercedes Benz dan Ferrari yang harganya di atas Rp1 miliar. Latar belakang Andhika yang pernah menjadi artis juga turut menarik perhatian seluruh media infotainment. Pembobolan simpanan nasabah kakap oleh Malinda selama kurang lebih tiga tahun berakhir 23 Maret 2011 setelah delapan penyidik dari Direktorat Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menangkap Melinda di apartemennya di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Tim dari Mabes Polri bergerak setelah mendapat laporan pihak Citibank pada bulan Januari. Dalam keterangan saksi di pengadilan terlihat modus yang digunakan Malinda, yakni dengan menyalahgunakan kepercayaan para nasabah kakap terhadap dirinya. Oleh Melinda, nasabah-nasabah kaya dan sibuk itu disodori blanko kosong untuk ditandatangani agar memudahkan transaksi. Namun ternyata Melinda mencuri uang tersebut sedikit-demi sedikit tanpa disadari pemilik rekening melalui persekongkolan jahat dengan bawahannya, Dwi Herawati, Novianty Iriane dan Betharia Panjaitan selaku Head Teller Citibank. Jaksa Penuntut Umum mendakwa Melinda melakukan penggelapan dan pencucian uang dalam kurun waktu 22 Januari 2007 hingga 7 Februari 2011 melalui 117 transaksi, dimana 64 transaksi di antaranya dalam bentuk pecahan rupiah senilai Rp27,36 miliar dan 53 transaksi senilai 2,08 juta dolar AS.
         Bagaimana Malinda beroperasi selama itu?
Guna meraih kepercayaan nasabah, wanita 47 tahun tersebut terlebih dahulu memperlakukan mereka secara istimewa, misalnya dengan melayani di ruang khusus di kantor Citibank. Perlakuan ini tidak hanya diberikannya dalam waktu singkat, tetapi hingga puluhan tahun sampai nasabah sangat percaya. Dari sini, Melinda secara cermat menelisik pola transaksi nasabah yang bersangkutan, kemudian mengajukan blanko kosong untuk ditanda tangani. Blanko inilah yang dia gunakan untuk menarik dana dengan memerintahkan Dwi mentransfer uang ke beberapa perusahaan miliknya. Melinda juga menggunakan surat kuasa dari nasabah, sehingga nasabah seolah-olah datang ke bank untuk melakukan transaksi. Untuk mengaburkan bukti kejahatan, Melinda membuat perusahaan pribadinya yang dialiri dana nasabah Citibank atas nama orang lain. Pada akhirnya, duit inilah yang digunakannya, antara lain untuk menyicil angsuran mobil super mewah seperti Ferrari. Tengok saja kesaksian Rohly Pateni, salah satu nasabah yang menjadi korban Melinda. Dia mengaku sangat percaya kepada Melinda karena sudah 18 tahun menjadi nasabah Citibank dan ditangani Melinda. Dia jarang mengecek rekeningnya karena sibuk bekerja. Berdasarkan kesaksian mantan Citigold Executive Head di Citibank Landmark, Reniwati Hamid, Melinda mengalirkan dana nasabah ke empat perusahaan miliknya yaitu, PT Sarwahita Global Manajemen, PT Porta Axell Amitee, PT Qadeera Agilo Resources, dan PT Axcomm Infoteco Centro. Reniwati sendiri menjabat sebagai Direktur Utama di empat perusahaan yang didirikannya bersama Melinda, Roy Sanggilawang, dan Gesang Timora tersebut. Dari keempat perusahaan ini, Melinda kembali menarik uang untuk kepentingan pribadinya, Andhika maupun adiknya, Visca Lovitasari serta suami Visca, Ismail bin Janim. Andhika menampung uang curian itu dengan membuka banyak rekening dengan identitas berbeda karena menggunakan KTP palsu. Dia juga diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menerima dan menampung uang yang diduga hasil tindak pidana istri sirinya. Andhika didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, d, f UU Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 263 Ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Adapun Visca ditetapkan diadili setelah menampung dana dari Melinda senilai lebih dari Rp8miliar, dalam kurun waktu 24 Januari 2007 sampai tanggal 19 Oktober 2010. Tahap pertama Melinda menyetor sebesar Rp2.063.723.000. Lalu, Malinda mengirim lagi Rp.5.429.199.000 dan selanjutnya Rp66juta, dan terakhir Rp401.480.000. Jaksa mengatakan, dari tiap transaksi itu, Visca mendapat imbalan sebesar Rp5 juta. Sedangkan suaminya, Ismail yang juga diadili didakwa menampung uang dari Melinda sekira Rp20,4 miliar sejak bulan Januari 2010 hingga Oktober 2010 dalam 51 kali transaksi.
Sementara itu, jaksa menjerat Melinda dengan pasal berlapis, yaitu pasal dalam Undang-Undang Perbankan dan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pertama, dia dijerat Pasal 49 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 dan pasal 65 KUHP. Kedua, Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 KUHP. Ketiga, Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Ancamannya adalah 15 tahun penjara. Fakta lain yang cukup menarik adalah keterlibatan Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Marsekal Madya TNI Rio Mendung Thalieb. Dia menjadi Komisaris Utama PT Sarwahita Group Management, namun mengaku tak melakukan bisnis dalam perusahaan tersebut. Tidak jelas apakah pengakuan ini benar atau tidak karena tidak pernah ada pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Yang juga tak terungkap dari kasus tersebut adalah identitas dan latar belakang nasabah yang ditangani Melinda yang kabarnya mencapai puluhan orang. Sebab, yang melapor ke polisi cuma tiga orang. Semula, banyak pihak berharap seluruh nasabahnya melapor sehingga di sisi lain juga bisa ditelisik apakah ada di antaranya pejabat negara sekaligus mencari tahu darimana sumber uang itu. Selain menjerat Melinda, Andhika, Visca, dan Ismail, polisi juga menyeret rekan kerja Melinda yakni Reniwati Hamid, RJ selaku Cash Official Manajer atau atasan teller, dan SW selaku Cash Supervisor Manager. Mereka menyusul Dwi Herawati binti Harno Wijoyo, Novianty Iriane binti Emon, dan Betharia Panjaitan yang lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dan tengah menjalani persidangan dengan tuduhan turut membantu perbuatan Melinda. Kasus ini masih akan berlanjut di tahun 2012 karena semua terdakwa masih menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belum satu pun dari mereka yang dijatuhi vonis oleh hakim. Proses persidangan bisa saja berlanjut hingga beberapa tahun ke depan jika persidangan berlanjut ke tingkat Mahkamah Agung.
Sudut pandang dari kasus diatas dan Kesimpulan :
Kasus Bank Century merupakan salah satu tindak pidana perbankan. Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa pelaku kejahtan, Malinda Dee, melakukan kejahatan manipulasi data. Dalam tindak pidana perbankan memanispulasi data dengan cara memindahkan rekening orang ke rekening lain adalah salah satu kejahatan perbankan.Pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang juncto Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, tersebut di atas pada intinya dapat digolongkan sebagai berikut :
1.      Penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap pengurus dan atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
2.       Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, segala sesuatu yang berkaitan dengan proses persidangan diwakili oleh pengurus.
3.      Meskipun korporasi dapat dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam hal tertentu ada pengecualian, yaitu apabila tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus di luar dari yang ditentukan dalam anggaran dasar.
Kemudian pidana yang dijatuhkan diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang juncto Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, yang dirumuskan sebagai berikut :
(1)   Pidana pokok untuk korporasi adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah satu pertiga (pasal 5 ayat (1)).
(2)   Pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan /atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi (pasal 5 ayat (2)).
Diakuinya korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ini juga berdasarkan dengan pengertian tindak pidana pencucian uang yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah dubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 memberikan pengertian tentang pencucian uang, yaitu sebagai berikut :
“Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.” Berdasarkan pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, yang pengaturannya mengakui korporasi sebagai subyek hukum pidana sebagaimana telah dipaparkan diatas, maka selanjutnya dibahas lebih lanjut tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap bank, kaitannya dengan tindak pidana pencucian uang, yaitu pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut dipertanggungjawabkan dengan menggunakan sarana hukum pidana, dalam hal ini dipertanggungjawabkan secara pidana, tetapi tidak seperti pertanggungjawaban yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bergantung pada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana terhadap bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang ini berbeda dengan pertanggungjawaban pidana yang menggunakan kesalahan (mens rea) atau dalam hukum pidana disebut dengan asas legalitas (tiada pidana tanpa kesalahan) yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena bank adalah suatu badan hukum, bukan manusia alamiah (natural person), maka harus diadakan penyimpangan.
Menurut saya kasus penggelapan uang nasabah Citibank Indonesia yang dilakukan oleh seorang Senior Relation Manager  Citibank Indonesia, Malinda Dee dengan memperalat seorang teller nya, yakni Dwi merupakan salah satu contoh kejahatan kerah putih di dunia perbankan. Model kejahatan kerah putih ini merupakan evolusi tindak kejahatan dalam dunia moderen. Menurut sebuah artikel online yang saya baca, dalam sejarah di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Karena pelaku kejahatan ini banyak melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat. Kasus yang melibatkan Malinda Dee ini merupakan kasus kejahatan kerah putih ( white collar crime ) yang canggih, karena didukung oleh jaringan teknologi yang mutakhir. Selain itu pengawasan Bank Indonesia ( BI ) yang lemah karena keterbatasan Sumber Daya Manusia ( SDM ) dalam mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah juga membuat pembobolan atau penggelapan uang nasabah menjadi mudah terjadi. Hukum tidak lagi menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan kejahatan kerah putih termasuk Malinda Dee mungkin salah satunya. Karena selama ini seperti yang kita ketahui, para pelaku pembobol bank maupun pelaku korupsi yang mendapat hukuman penjara bertahun-tahun, tetapi ternyata didalam penjara mereka masih diberikan fasilitas yang nyaman dan mereka tidak mendapat hukuman yang berat. Atau bisa saja dengan membayar beberapa miliar rupiah pada oknum-oknum penegak hukum mereka sudah dapat bebas kembali. Ini membuat para pelaku kejahatan korupsi dan kejahatan kerah putih sekalipun tidak lagi memperdulikan hukum sehingga kasus seperti pembobolan uang nasabah Citibank tidak mungkin tidak akan terulang lagi.
Oknum pegawai Bank biasanya memanfaatkan kebiasaan para nasabah yang sangat mudah percaya pada pegawai Bank. Jika kasus ini dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya tindakan tegas dari Pemerintah, maka akan membuat para nasabah kehilangan kepercayaan. Hal tersebut akan berdampak negatif pada Bank, salah satunya adalah kebangkrutan. Karena Bank juga akan dikenakan sanksi, seperti yang dialami oleh Citibank. Tidak boleh menambah nasabah baru layanan Citigold, Citibank kini juga dilarang menawarkan kartu kredit.
Kesimpulan:
Pembobolan uang nasabah yang melibatkan Malinda Dee dan teller nya di Citibank sebenarnya bisa saja dicegah. Dimulai dengan memperketat pengawasan internal, untuk mencegah oknum-oknum pegawai bank yang nakal. Untuk memperketat pengawasan tersebut memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kasus pembobolan uang nasabah. Kemudian dengan memperketat perekrutan Sumber Daya Manusia ( SDM ) perbankan sehingga yang diterima benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Dan yang selanjutnya Pemerintah harus mulai memperkuat penegakan hukum, membersihkan aparat atau oknum-oknum penegak hukum yang masih dapat dengan mudah disuap. Lalu memperbaiki dua kelemahan mendasar BI yaitu pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank untuk beraksi. Atau dengan mengadakan kerjasama dengan para provider seperti Telkomsel, Satelindo dll untuk pengungkapan jaringan melalui mobile phone.
    Sumber :